Kamis, 28 April 2011

Transportasi Khas Lokal

- Kondisi saat ini dan permasalahannya

Keberagaman tiap kota-kota di Indonesia dipengaruhi oleh sumber daya alam, kondisi geografis, jumlah penduduk, dan tradisi di kota tersebut, begitu juga dengan keberagaman angkutan umum khas lokal.

Moda transportasi lokal yang khusus dapat menciptakan identitas kota, inovatif dan bisa menjadi moda transportasi tradisional yang memiliki daya tarik bagi wisatawan, seperti kereta kuda (Andong) di Yogyakarta, Surakarta dan beberapa kota di pulau Jawa lainnya dan bis air yang dikembangkan Pemerintah kota Palembang. Lain halnya dengan bentor yang keberadaannya telah dilarang oleh pemerintah kota (pemkot) Palembang melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Kehadiran bentor dinilai telah menyalahi standar operasional sebagai angkutan umum yang dinilai tidak memenuhi standar keselamatan penumpang.

Salah satu transportasi khas lokal yang berada di Indonesia yang sampai saat ini masih tetap digunakan adalah transportasi sungai. Transportasi sungai ini umumya digunakan untuk melayani mobitas barang dan penumpang baik di sepanjang aliran sungai maupun penyebrangan sungai. Angkutan sungai sangat menonjol di Kalimantan, dan Sumatera, seperti di kota Banjarmasin, Pelembang, dan Samarinda.



Penataan moda transportasi lokal perlu dilakukan agar dapat terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga tercipta transportasi yang cepat, nyaman, aman, effisien dan meningkatkan kebudayaan khas lokal yang menarik bagi wisatawan.


Strategi dan Solusi
• Strategi Penghapusan Angkutan Becak Motor (Bentor) di Daerah

Pada daerah tertentu di Indonesia, banyak beroperasi kendaraan bentor, yang keberadaannya berawal dari inovasi masyarakat, dan bukan merupakan angkutan khas daerah, karena tidak memiliki nilai sejarah. Namun demikian keberadaannya kontroversial dikarenakan pengoperasian bentor melanggar UUD no.22 tahun 2009, khususnya dari segi tingkat keselamatan dan juga tidak berijin. Untuk itu beberapa daerah di Indonesia melakukan upaya untuk menghapuskan operasional bentor secara bertahap. Adapun tahapan evolusi bentor dapat dilakukan seperti tahapan evolusi pada ojek dapat dilihat pada bab 4.4 angkutan umum.

• Strategi Pengembangan Transportasi Khas Lokal
Untuk wilayah kota yang secara geografis, dilintasi oleh sungai, maka pemerintah kota dapat mengembangkan transportasi bis sungai, dengan cara meningkatkan aksesibilitas langsung dari angkutan umum dengan dermaga angkutan sungai. Sehingga selain menjadi ikon kota, angkutan khas lokal pun memiliki peran yang besar dalam tercapainya visi transportasi kota.

• Penataan Transportasi Khas Lokal
Dalam penataan transportasi khas lokal, sangat dipengaruhi oleh kebijakan masing-masing daerah (kebijakan pemerintah kota), yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain :
a. Aspek Sentimental dan sejarahnya
Dilihat dari aspek sejarah keberadaannya, angkutan transportasi lokal pada suatu masing-masing kota yang telah lama menjadi ikon bagi kota tersebut, terus dipertahankan meskipun pemerintah daerah harus melakukan subsidi guna melestarikan angkutan tradisional tersebut, karena memiliki nilai sejarah bagi perkembangan kota.

b. Aspek Ekonomi dan Pariwisata
Dari aspek ekonomi dan pariwisata, keberadaan transportasi khas lokal akan menambah khasanah kebudayaan dan pariwisata kota, sehingga perlu dilakukan penanganan yang serius dari pemerintah kota dalam mengambil kebijakan guna membangun prasarananya dan melakukan penataan operasional terbatas pada kawasan obyek wisata atau lingkungan tertentu saja. Dengan demikian pemerintah tidak perlu melakukan subsidi dalam operasional angkutan tradisional tersebut, karena dari segi ekonomi dan pariwisata pihak operator angkutan sudah mendapat keuntungan dari mengangkut wisatawan yang berkunjung dan menggunakan jasanya.

c. Aspek Penunjang Transportasi Perkotaan
Dari Aspek penunjang transportasi perkotaan, maka peranan angkutan khas lokal ini sangat penting, karena dapat mengintegrasikan antar moda, sehingga akan memudahkan pengguna angkutan umum untuk melakukan perpindahan ke moda angkutan umum lain. Seperti kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Palembang yang mengembangkan moda angkutan sungai (bis air) yang akan mengintegrasikan dengan layanan bus sistem transmusi. Dengan demikian pemerintah kota hanya membuat fasilitas pendukung, pemerintah daerah tidak perlu lagi mensubsidi untuk operasional angkutan tradisional tersebut.

Evolusi Angkutan khas lokal berdasarkan Kebijakan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :




Tahapan dari gambar diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
Tahap1. Angkutan khas lokal kondisi saat ini, memiliki kapasitas angkut penumpang dan kecepatan yang rendah, lalu lintas tercampur, sehingga menambah kemacetan didaerah perkotaan, kepemilikannya yang masih individu, dan dapat menaikkan menurunkan penumpang, dimana saja dan kapan saja

Tahap 2. Angkutan angkutan tradisional yang ada diperkotaan, dilakukan penataan, yang hanya dioperasikan pada lingkungan tertentu saja, seperti tempat pariwisata, dan perumahan tertentu, sehingga lalulintasnya tidak bercampur dengan angkutan umum lainnya, sudah terorganisir dan memiliki jalur atau rutenya sudah jelas. Rute-rute obyek rekreasi dan pariwisata, dan rute dilingkungan perumahan tertentu

Tahap 3. Angkutan tradisional juga dapat ditata dan dikelola menjadi feeder bagi angkutan umum yang lebih cepat, effisien dan memiliki daya angkut yang besar. Yang sudah terorganisir dan memiliki rute yang jelas seperti angkutan bis air di palembang.


- Rencana Aksi Penataan Transportasi Khas Lokal
Untuk mengimplementasikan dari tiap tahapan evolusi, membutuhkan rencana aksi
guna mengetahui tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan beserta target yang
ingin diharapkan dari setiap penta.hapan yang dilakukan. Hal ini dapat terlihat pada
tabel D.7 di bawah ini.

Kendaraan Tidak Bermotor ( Non Motorized Transport-NMT)

3. Kendaraan Tidak Bermotor (Non Motorized Transport – NMT)

- Kondisi saat ini dan Permasalahan


Beberapa penggambaran kondisi kendaraan tidak bermotor di Indonesia khususnya sepeda, dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Komunitas sepeda di Indonesia ada
 Jumlah pengguna sepeda masih sedikit dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Beijing (49%), New Delhi (22%), dan Strass Borough (15%). (Sumber : waleyng, Report 1 No.4, 1997)


 Pengembangan jalur sepeda masih sangat terbatas, dibanding kota-kota lain seperti Bogota yang telah membangun jalur sepeda 350 km dan terintegrasi dengan BRT
 Pihak BSTP sudah melakukan peningkatan fasilitas NMT khususnya untuk pesepeda di beberapa kota, seperti dilakukan peningkatan di kota Balikpapan (2008) dengan jalur sepeda 3000 meter dengan biaya 1,2 milyar, dan Sragen (2010) dengan jalur sepeda 1200 meter dengan biaya 800 juta..
 Regulasi untuk perlindungan pesepeda dan pejalan kaki masih belum ada di kota-kota di Indonesia.

- Harapan / Visi
 Sepeda sebagai angkutan feeder dapat megisi kekosongan (missing link) perjalanan jarak pendek antar simpul angkutan missal ke perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sarana pendidikan.
 Terbaginya fasilitas jalur sepeda yang nyaman, indah, dan iman serta terintegrasi dengan angkutan missal seperti BRT dan MRT
 Peningkatan kesehatan pengguna jalan
 Berkurangnya polusi udara perkotaan

- Strategi
Adapun strategi-strategi yang dapat ditempuh untuk memperbaiki kondisi fasilitas NMt khususnya sepeda di Indoensia, adalah sebagai berikut :
 Pengembangan jalur sepeda pada jalan-jalan kota, untuk mendukung aksesibilitas angkutan umum
 Penyelenggaraan transportasi NMT harus terintegrasi dengan moda angkutan umum, dengan prinsip :
a) Tersedianya konektifitas rute NMT dengan jaringan pelayanan angkutan umum, dan
b) Tersedianya fasilitas yang memadai untuk mendorong integrasi jaringan NMT dengan jaringan angkutan umum
 Koordinator sepeda merupakan pihak yang bertanggungjawab atas keberlangsungan penyelenggaraan transportasi sepeda di tingkat daerah, dimana tugas dan kewajiban coordinator seped tersebut adalah sebagai berikut :
a) Melakukan koordinasi dan kolaborasi antar daerah, antar instansi dalam daerah dan para pemangku kepentingan (unsure pemerintah, akademisi, tenaga ahli, komunitas bisnis, komunitas pengguna sepeda, dan masyarakat) untuk keberhasilan program
b) Menjaga tingkat pelayanan transportasi sepeda, sesuai prinsip kebijakan penyelenggaraan transportasi sepeda
c) Melayani dan menindak lanjuti pengaduan masyarakat
d) Melakukan evaluasi dan menyusun rencana peningkatan transportasi sepeda
e) Merencanakan dan melakukan kegiatan promosi dan edukasi mengenai transportasi sepeda
f) Menjamin kesinambungan program pengembangan transportasi seped, termasuk di dalamnya program pembiayaan
 Perbaikan kualitas NMT di Indonesia ini dapat ditempuh sesuai evolusi NMT sebagai berikut :



Tahap 1 : Merupakan tahap dengan kondisi transportasi sepeda dan NMT saat ini, yaitu kebijakan dan peraturan kurang mendukung, kondisi prasarana yang tidak layak, keterbatasan lahan, prasarana yang tidak terintegrasi dengan angkutan umum, namun saat ini sudah ada program car free day yang mendukung penggunaan sepeda dan NMT secara bersama-sama
Tahap 2 : Merupakan tahap penyempurnaan infrastruktur sepeda dan NMT menjadi layak dan seharusnya (basic infrastructure), seperti penyempurnaan dengan menyediakan jalur sepeda, tempat parkir sepda, jalur NMT yang terintegrasi dengan angkutan umum, serta adanya standar dan pedoman jalur NMT.
Tahap 3 : Merupakan tahap dengan melakukan pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi, seperti dilakukan pemanfaatan lahan kota untuk jalur sepeda, serta adanya pembatasan parkir kendaraan pribadi.
Tahap 4 : Pada tahap ini fasilitas NMT sudah terintegrasi penuh dengan angkutan massal seperti BRT dan MRT.
Dibawah ini merupakan rekomendasi pengembangan jalur pejalan kaki dan NMT khususnya pesepeda untuk kota Bogor.




- Rencana Aksi NMT
Rencana aksi untuk NMT dapat ditinjau pada table di bawah ini

Pejalan kaki

Setiap orang termasuk penduduk Indonesia adalah pejalan kaki. Setiap penduduk berhak untuk menikmati fasilitas pejalan kaki yang layak.

Semakin padat kota yang dibangun, maka seharusnya semakin mudah pula fasilitas di kota-kota tersebut dapat diakses dengan berjalan kaki sehingga kota menjadi nyaman untuk ditinggali.


a. Kondisi Saat Ini

Perkembangan kota-kota di Indonesia cenderung kurang mendukung penyelenggaraan Pejalan Kaki dikarenakan :
a. Pertumbuhan populasi kota yang tidak teratur dan pertumbuhan daerah sekitar kota (urban sprawl); dan
b. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang dominan dalam penggunaan ruang publik.

Kondisi fasilitas trotoar di perkotaan masih minim, berdasarkan dari data BSTP tahun 2008, ketersediaan trotoar di Indonesia adalah sebagai berikut :
- Kota metropolitan sebesar 3,2%
- Kota Besar sebesar 1,5%
- Kota Sedang sebesar 5,3%
- Kota Kecil sebesar 7,8%



Namun, pihak BSTP sudah melakukan peningkatan fasilitas pejalan kaki di beberapa kota, seperti dilakukan peningkatan di kota Batam(2007), Pekanbaru (2008), Bukit Tinggi (2010), Balikpapan (2008), dan Sragen (2010).
Permasalahan dalam penyelenggaraan pejalan kaki yaitu :
a. Sebagian besar prasarana Pejalan Kaki terhadap kawasan pengembangan dan titik-titik transfer moda belum terkoneksi dengan baik;
c. Upaya Kota-kota di Indonesia untuk menyediakan Jalur Pejalan Kaki masih terbatas;

b. Tujuan yang Ingin Dicapai (Visi)
Pada tahun 2030 budaya berjalan kaki (dan bersepeda) telah terimplementasikan di kota-kota di Indonesia dengan tolak ukur sebagai berikut :
- Kota-kota di Indonesia menjadi kota-kota yang ramah bagi pejalan kaki.
Jaringan jalur pejalan kaki tersedia dan terpelihara dengan baik guna menjamin mobilitas pejalan kaki yang berasal dari berbagai jenjang usia, status sosial dan ekonomi dan kemampuan fisik;
- Mayoritas perjalanan di Pusat Kota dilakukan dengan berjalan kaki; dan
- Mayoritas perjalanan di kawasan ‘Sisi Luar Pusat Kota’ dilakukan dengan berjalan kaki yang terintegrasi dengan sistem angkutan umum

Strategi Mencapai Tujuan (Solusi)

Prinsip Kebijakan

Kebijakan Penyelenggaraan Pejalan Kaki ditetapkan berdasarkan pada prinsip : Keselamatan, Keterhubungan, Langsung dan Tidak Terputus, Kenyamanan dan
Keamanan, Menarik, dan Kualitas Baik.




Kebijakan difokuskan guna mengakomodir Sasaran Pengembangan untuk : Perjalanan Sekolah, Perjalanan Bekerja, Kegiatan Wisata dan Perjalanan dalam Area Lokal Tertentu (perumahan, kampus, dll).

Penetapan area pengembangan berlandaskan Hirarki Pengguna Jalan, yaitu Pejalan Kaki sebagai pertimbangan utama khususnya diutamakan untuk melindungi anak- anak, orang tua dan orang cacat / berkebutuhan khusus.

Di pusat kota diterapkan strategi car free area untuk membebaskan kawasan tersebut dari kendaraan bermotor.

Kampanye dan Sosialisasi

Kampanye dan sosialisasi hak dan kewajiban pengguna jalan yang melindungi Pejalan kaki terutama yang melindungi anak-anak, orang tua dan orang cacat / berkebutuhan khusus.

Pihak-pihak yang berwenang, termasuk para penegak hukum terlibat aktif mensosialisasikan hak khusus pejalan kaki yang menyeberang atau menggunakan zebra cross.

Penyediaan Prasarana

 Penyediaan jalur pejalan kaki yang lebarnya memadai dengan kriteria fisik : kerb yang lebih tinggi, rata dan tidak licin, permukaan yang tahan lama dengan kemiringan satu derajat untuk kemudahan drainase, terlindung, terpisah dari arus lalu lintas, lampu penerangan yang cukup di malam hari.
 Fasilitas penyeberangan pejalan kaki di badan jalan (on-street pedestrian crossing) bagi pejalan kaki dibuat koneksi paling pendek terutama di mulut persimpangan dan bersifat ‘compact’. Termasuk fasilitas penyeberangan di jalan utama perkotaan seperti jalan protokol dll.
 Pada area-area tertentu, fasilitas penyeberangan didukung dengan pengaturan lampu lalu lintas.
 Pada lokasi yang tidak memungkinkan untuk disediakan sarana penyeberangan Pejalan Kaki (misal di jalan tol). Tangga untuk jembatan pejalan kaki harus memiliki lebar yang memadai dan aksesibilitas yang nyaman, dengan penerangan yang cukup pada malam hari demi keamanan.
 Pembangunan jembatan pejalan kaki (JPO / Jembatan Penyeberangan Orang) diintegrasikan dengan pengembangan bangunan di sekitarnya, dapat langsung terhubung dengan lantai atas bangunan-bangunan seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan dengan jalur mass rapid transit yang berapa di ketinggian terhadap permukaan jalan (elevated mass rapid transit lines).

Terkait dengan pengembangan BRT (Bus Rapid Transit) dan Sistem Transit di kota-kota di Indonesia, ditetapkan kebutuhan rata-rata jumlah halte transportasi umum untuk setiap jarak 1 Km adalah 3,33 (kawasan pusat kota) dan 2,5 (kawasan pinggir kota), sehingga jarak yang ditempuh oleh pejalan kaki untuk berpindah moda transportasi publik (jarak antar halte) adalah 300 meter (kawasan pusat kota) dan 400 meter (kawasan pinggir kota).

d. Kendala dan Hambatan

Kendala dan hambatan yang dihadapi dalam Penyelenggaraan Pejalan Kaki :
• Pengembangan jalan kota terlalu mengutamakan kendaraan bermotor
• Lemahnya penegakan hukum dalam berlalu lintas di jalan raya
• Kurangnya koordinasi antara institusi
• Kurangnya kesadaran masyarakat bahwa pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor adalah yang harus diutamakan dalam hirarki pengguna jalan.

e. Roadmapping (Time Frame)

Rencana Implementasi dari Program Kerja Penyelenggaraan Pejala Kaki ditetapkan berdasarkan rentang waktu pengembangan tertentu yang akan diukur berdasarkan pencapaian target di akhir setiap tahapannya, yaitu :

a. Rencana Jangka Pendek, yaitu rencana pengembangan untuk 1 (satu) tahun ke depan dimulai sejak ditetapkannya kebijakan Penyelenggaraan Pejalan Kaki.
b. Rencana Jangka Menengah, yaitu rencana pengembangan selama 5 (lima) tahun berjalan meliputi rencana Penyelenggaraan Pejalan Kaki yang mengakomodir kebutuhan perjalanan serta rencana penyediaan fasilitas pendukung Pedestrianisasi.
c. Rencana Jangka Panjang, yaitu rencana pengembangan selama 20 tahun mendatang dalam upaya mencapai optimalisasi Jaringan Jalur Pejalan Kaki di wilayah rencana.



Dari gambar evolusi di atas dapat diuraikan sebagai berikut :

Tahap 1 : Kondisi saat ini, dimana fasilitas pejalan kaki masih belum tersedia secara menyeluruh di semua kota, dan masih belum memenuhi prinsip keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki. Tahap 1 ini direncanakan dimulai pada tahun 2011.

Tahap 2 : Adanya program perbaikan dan pemeliharaan pada sarana/fasilitas pejalan kaki yang ada, seperti melakukan perbaikan pada trotoar yang rusak atau perbaikan pada kondisi jalan yang sudah tidak sama dengan kondisi sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan upaya pemeliharaan dan inspeksi jalan secara teratur, untuk tetap menjaga kualitas sarana jalan kaki tetap baik dan nyaman. Tahap ini direncanakan dimaksimalkan tahun 2012 - 2013.

Tahap 3 : Perlu adanya integrasi jaringan pedestrian antar kawasan-kawasan vital, selain itu diperlukan juga integrasi jaringan pedestrian dengan NMT dan moda transportasi lainnya, sehingga jalan kaki bisa dianggap sebagai feeder transportasi. Tahap ini direncanakan dapat diimplementasikan pada 25 kota dengan periode waktu 2013-2018

Tahap 4 : Pada tahap ini adanya jaringan jalur pejalan kaki yang baik dan terintegrasi dari pusat kota ke wilayah luar pusat kota, serta didukung oleh pembatasan perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.Program ini dimaksimalkan tercapai tahun 2030.

Selasa, 26 April 2011

Angkutan Umum

D. Komponen Moda

1. Angkutan Umum

- Permasalahan dan Harapan


Persentase pengguna angkutan umum perkotaan di Indonesia terus mengalami penurunan persentasi, rata-rata sebesar 1% per tahun (MTI, 2005), bahkan di kota Jakarta diperkirakan mencapai 3% per tahun (Sitramp, 2004, JUTPI, 2010). Kepemilikan kendaraan pribadi baik sepeda motor dan mobil yang meningkat karena kemudahan yang dinikmati penggunanya memberikan kontribusi terhadap kenaikan jumlah tersebut. Biaya transportasi merupakan komponen yang sangat signifikan, rata-rata mencapai 15-20%, bahkan di Jakarta dapat mencapai 25-30% dari pengeluaran bulanan rumah tangga.

Pengembangan sistem BRT (busway) Jakarta sejak 2004 merupakan inovasi reformasi angkutan umum berdasarkan lesson learned kota-kota di dunia, namun masih jauh dari mencukupi kebutuhan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Tiga belas kota, dengan bantuan Kemenhub, telah memulai inovasi sistem mini BRT dengan beberapa keterbatasan, yang dikenal dengan “sistem transit”. Kota-kota tersebut adalah Palembang, Yogyakarta, Bogor, Solo, Batam, Pekanbaru, Semarang, Manado, Gorontalo, Bandung, Tangerang, Sarbagita dan Ambon. Sampai dengan pertengahan tahun 2010 telah beroperasi 32 koridor sistem transit, atau rata-rata per tahun bertambah 6 koridor baru, sehingga total mencapai 570,5 km.

Kota-kota yang sustainable secara ekonomi, sosial dan lingkungan adalah visi kota yang diperkuat oleh pelayanan angkutan umum sebagai tulang punggung pergerakan mayoritas penduduk, berdaya sain dan memberikan kontribusi terhadap rendahnya biaya transportasi penduduk. Target yang diharapkan adalah modal share angkutan umum merupakan sedikitnya 50% dari rata-rata seluruh perkotaan, dan untuk wilayah pusat kegiatan (city center) merupakan 80% dari modal share. Biaya transportasi dapat diturunkan sehingga menjadi 50% dalam kurun 20 tahun mendatang, lebih ramah lingkungan, bebas dari pungutan liar, aman, nyaman dan terintegrasi dengan seluruh moda

- Evolusi Moda Angkutan Umum

Perkotaan di Indonesia mengalami evolusi kemajuan sistem angkutan umum berdasarkan sejarah perkembangan kota. Secara umum, kota-kota dibagi menurut jenis angkutannya berupa angkutan individu dan angkutan massal, memiliki ciri operasi angkutan umum:

• Kota Kecil: Angkutan umum terdiri dari Angkutan Kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek.
• Kota Menengah: Angkutan umum, terdiri dari Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan kota (Angkot) dan bus sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek
• Kota Besar: Angkutan Massal, terdiri dari Sistem Transit, Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek
• Kota Metropolitan: Angkutan Massal, terdiri dari Mass Rapid Transit (MRT), Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan Kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek

Tipologi angkutan umum dikelompokkan berdasarkan atas kelompok angkutan massal dan angkutan individual.



Proses evolusi angkutan umum dimulai dari pelayanan tradisional berbasis paratransit, yang saat ini masih menjadi tulang punggung transportasi perkotaan di kota-kota menengah dan kecil di Indonesia. Dengan tumbuhnya permintaan perjalanan menjadi mayoritas bagi pengguna transportasi, terbentuk angkutan massal berbasis jalan dengan tingkat pelayanan kecepatan rendah dan kenyamanan rendah

Reformasi transportasi dengan sistem transit pada koridor backbone, dengan tetap dengan dukungan angkutan bus (bus besar, bus sedang dan angkot) sebagai feeder. Dengan perbaikan yang terus berlanjut, kota-kota akan memiliki Mass Rapid Transit (MRT) berbasis angkutan bus pada backbone, dengan tetap menerapkan sistem transit pada beberapa koridor dan dukungan sistem bus.


Proses pemilihan moda angkutan umum dilakukan dengan menempatkan moda sesuai dengan kapasitas angkut dan kecepatannya. Kota dengan kapasitas kebutuhan perjalanan 1.000 penumpang/jam/arah dilayani dengan paratransit, dan selanjutnya seiring dengan perkembangan kebutuhan kapasitas pelayanan akan
meningkat menjadi angkutan bus, sistem transit dan BRT (Gambar 4.9).



Proses evolusi angkutan umum:
Tahap-1 : Tahap pada kondisi eksisting angkutan bis kota dan angkutan kota yang masih rendah dalam penerapan SPM angkutan umum, dimiliki oleh individu dan belum terorganisasi yang disebut dengan paratransit/angkot

Tahap-2 : Tahap awal reformasi,dengan pembenahan angkutan umum sebagai moda mayoritas terpilih, memiliki kapasitas lebih besar dari paratransit, terorganisasi, belum memiliki lajur khusus dengan penerapan SPM sedang yang disebut dengan system transit

Tahap-3 : Tahap pengembangan dari system transit dengan penerapan SPM dengan kategori baik, melalui pembuatan lajur khusus, feeder bus guna meningkatkan kecepatan/travel time yang di sebut dengan BRT

Tahap-4 : Reformasi angkutan umum berbasis jalan, dengan penerapan SPM dengan kategori sangat baik,dengan kapasitas lebih besar dari system BRT yang disebut dengan sistem Full BRT

- Evolusi Angkutan Individu

Angkutan individu terdiri dari ojek, taksi dan becak. Secara umum ketiga jenis moda tersebut terdapat di seluruh kota di Indonesia, hanya khusus taksi tidak semua kota tersedia. Dilihat dari parameter jarak, kecepatan, sifat pelayanan (door-to-door), tarif dan keselamatan, ketiga moda dibandingkan secara kualitatif, kinerja ojek memiliki keuntungan dari aspek kecepatan dan ketersediaannya (door-to-door). Saat ini di hampir semua wilayah perkotaan, telah dilayani oleh ojek. Ojek menjadi masalah karena tidak memiliki legalitas dalam UU 22/2009 tentang LLAJ namun demikian kebutuhan masyarakat akan pergerakan yang cepat, door-to-door dan melayani jalan yang sempit memaksa pengguna jalan menggunakan ojek.

Target kedepan: peran taksi akan ditingkatkan hingga menjadi moda utama angkutan individu di pusat kota dan wilayah perkotaan, khususnya kota metropolitan, kota besar dan kota menengah. Peran ojek akan dibatasi pada wilayah dimana kebutuhan moda transportasi belum terlayani, khususnya pada jalan-jalan sempit (rat-run) kawasan perkotaan, tidak melayani trayek angkutan umum lingkungan (ang-ling), angkutan bus, sistem transit dan BRT


1. Bus (Besar, Sedang, Kecil)
a. Kondisi Saat Ini

Angkutan bus merupakan tulang punggung transportasi perkotaan saat ini, karena tingkat pelayanannya yang murah, aksesnya mudah dan menjangkau seluruh pelosok perkotaan. Peran angkutan umum di perkotaan rata-rata 30-50% dari seluruh kebutuhan perjalanan penduduk perkotaan di Indonesia setiap hari. Komposisi pelayanan bus didominasi oleh angkutan bus kecil. Di Jakarta pada tahun 2007, dari hampir 40.000 bus kota, 2.809 adalah Bus Besar, 7.821 Bus Sedang, dan26.002 Bus Kecil termasuk 2.576 MPU (Perhubungan Darat Dalam Angka 2008. MPU masuk dalam kategori bus kecil). Di Medan sebanyak 2.913 Bus Besar, 4.275 Bus Sedang, 9.734 Bus Kecil dan 9.758 MPU. Di Jayapura sebanyak 25 Bus Sedang, 183 Bus Kecil dan 2.375 MPU.

Pengelolaan angkutan umum masih tersegmentasi karena masih dimiliki oleh individu dan belum secara terstruktur mencerminkan kualitas pelayanan angkutan umum yang baik. Penataan jaringan trayek masih sangat lemah, yang ditunjukkan oleh menumpuknya penumpang dan sebaliknya kosong pada wilayah tertentu, waktu tunggu masih terlalu lama, dan tidak terhubungkan dengan pusat-pusat kegiatan penting perkotaan. Perkembangan yang cepat dari kepemilikan sepeda motor dan mobil telah mengurangi keinginan menggunakan angkutan umum

Harapan dalam pengembangan angkutan bus kedepan adalah bus menjadi andalan angkutan umum perkotaan, melalui proses evolusi 3 tahap: reformasi manajemen angkutan umum, pengembangan sistem transit perkotaan dan pengembangan BRT. Selanjutnya angkutan umum dapat kembali memiliki modal share yang tinggi sehingga minimal mencapai 50% dari seluruh kebutuhan perjalanan penduduk perkotaan di Indonesia. Antar moda angkutan umum dapat dilayani dengan integrasi pelayanan secara fisik dan tiketing. Angkutan umum kedepan diharapkan mampu menurunkan biaya perjalanan penduduk perkotaan hingga 50% dari persentase pengeluaran biaya perjalanan saat ini.


b. Strategi Kebijakan
Prioritas 1 – Sasaran


Sasaran kebijakan untuk pelayanan transportasi umum adalah sebagai berikut :
a. Biaya operasi yang rendah
b. Tarif bus yang terjangkau
c. Pelayanan yang memuaskan


Prioritas 2 – Sistem Moda Transfer

Jaringan bus melayani sebagian besar jumlah penumpang (bus conventional dan BRT: 25%). Di kota-kota besar sistem transportasi umum harus menyediakan rute jaringan jalan yang komprehensif, kapasitas yang memadai, frekuensi bus yang optimal (headway), dan jangkauan pelayanan dan tarif yang dapat mengangkut penumpang dari berbagai jenis latar belakang pendapatan dan tujuan perjalanan yang berbeda seoptimal mungkin, termasuk mereka yang dapat memilih melakukan perjalanan dengan mobil atau motor dan mereka yang sama sekali tidak dapat memilih menggunakan moda apapun.

Prioritas 3 – Kualitas Pelayanan

Pelayanan yang diberikan juga harus aman, cepat, dapat dipercaya, nyaman, mudah, dan tarif terjangkau, serta dampak terhadap lingkungan harus dapat diminimalisasi.

Prioritas 4 – Rute jaringan

Kecepatan dan ketepatan bus harus dapat ditingkatkan dengan menggunakan konsep bus priority, yang mana memprioritaskan bus untuk memiliki jalur khusus sehingga terhindar dari kemacetan, dan dapat mengambil rute-rute langsung, serta menghindari rute memutar yang dilakukan oleh sistem jaringan berputar 1 arah.

Prioritas 5 – Manajemen Operasional

Untuk memastikan bahwa pelayanan bus responsif terhadap perubahan permintaan penumpang dan penyampaian keinginan pengguna dalam perubahan kerangka kerja yang dibuat oleh pemerintah daerah, bus harus dioperasikan oleh perusahaan atau koperasi yang berorientasi terhadap keuntungan dan kinerja perusahaan (dalam banyak kasus : perusahaan swasta) dibawah sistem lisensi yang mendukung kompetisi.

Pelayanan dari moda transportasi yang berbeda harus diintegrasikan dengan jangkauan perpindahan moda yang mudah dan nyaman.

Langkah pertama untuk merealisasikan hal ini adalah perubahan/transisi dari angkutan umum berukuran kecil (angkot) ke angkutan bus yang lebih besar, yang dioperasikan oleh perusahaan di bawah kontrak. Dampak sosial dari transisi moda ini harus dapat diatasi dengan hati-hati, karena secara sosial angkot telah menjadi sumber pendapatan dari ribuan orang di kota.

Besarnya kuantitas kepentingan pribadi, kapasitas institusi/kelembagaan yang terbatas, kurangnya keinginan berpolitik dalam menentukan tingkatan kebijakan tertentu, menjadikan sistem yang telah dibangun hanya memberikan keuntungan bagi beberapa kelompok orang saja, sementara kepentingan warga masyarakat terabaikan.

Peraturan transportasi yang baru berlaku (UU 22 /2009) yang merefleksikan beberapa elemen kebijakan termasuk kebutuhan untuk memformalkan dan mengkonsolidasikan sektor bua perkotaan.

Di antara ketentuan perundangan baru tertulis bahwa kewajiban pemerintah daerah adalah untuk mengembangkan rencana transportasi yang komprehensif mencakup pelayanan bus yang berkapasitas besar.


Di antara ketentuan peraturan baru yang mewajibkan pemerintah daerah menyusun rencana transportasi yang komprehensif termasuk pelayanan bus berkapasitas besar di jalan utama kota, pelarangan operasi kendaraan pribadi di dalam jalur tetap bus (pasal 139/4) dan rute pengoperasian bus berskala kecil yang terintegrasi dengan bus berkapasitas besar. Hanya bus kelas ekonomi (didefinisikan sebagai bus non-AC) yang akan mendapatkan subsidi dari pemerintah (pasal 185). Hak operasional bus harus diberikan dengan proses yang kompetitif.

Prioritas 6 – Pengalihan Moda (Transisi)
Ketentuan yang ada pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi eksisting yang ada, karena program pengalihan moda ini belum dikembangkan.

Pengalihan moda ini diarahkan agar visi dari kebijakan dapat tercapai sesuai dengan perundang-undangan. Perubahan ini akan menghasilkan pertambahan kebutuhan terhadap pelayanan bus yang cukup besar dan tinggi, seiring dengan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan pergantian ke moda transportasi umum dimulai




Proses pengalihan moda ini membutuhkan banyak solusi sebagai pemecah masalah, sebagai berikut :
 Mendefinisikan peran pemerintah (regulator) dan swasta (operator) dalam menyediakan jasa pelayanan bus
 Strategi untuk mengurangi jumlah bus illegal dan minibus (angkot) illegal serta mengurangi dampak sektor paratransit
 Memperkirakan besar subsidi yang dibutuhkan untuk jasa pelayanan bus
 Insentif terhadap operator agar lebih efektif dan bertanggung jawab

Sejumlah kota-kota di Indonesia telah meresmikan sistem bus resmi menggunakan midi-bus yang diprakarsai oleh Kementerian Perhubungan dengan sebutan “Sistem Bus Transit”.

Namun, akibat dari pengetahuan mengenai sistem tersebut kurang, maka berpengaruh terhadap performa awal mereka. Demand penumpang dan pemulihan biaya operasi umumnya masih rendah karena adanya persaingan dengan angkot atau rute jaringan yang keluar dari rute utama angkot, sehingga sedikit sekali jumlah penumpang yang beralih ke moda bus ini. Frekuensi yang rendah / headway yang terlalu jauh mengakibatkan kebutuhan perjalanan penumpang menggunakan bus menjadi sedikit, hal ini hanya dapat diatasi dengan menerapkan sistem pengurangan operasi angkot seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Prioritas 7 – Kinerja Teknis

Juga terdapat beberapa masalah teknis yang dapat menghambat keberhasilan penggunaan bus sebagai sarana angkutan umum yang- jika berfungsi - akan sangat dibutuhkan kota-kota.

Desain tinggi platform pada bus seringkali menyulitkan dalam hal ketepatan pengkonstruksian tempat pemberhentian bus.

Harga sepeda motor yang murah, dengan skema cicilan dalam pembeliannya, ditambah dengan biaya operasional yang rendah, memberikan nilai saing yang sangat kuat, yaitu : sepeda motor memberikan transportasi yang lebih cepat, dan perpindahan yang langsung sampai di tempat tujuan dibandingkan transportasi umum lain dengan rute yang telah ditetapkan serta biaya perjalanan yang dikeluarkan dirasakan lebih murah daripada moda transportasi umum lainnya.. oleh karena itu, untuk bersaing melawan sepeda motor, pelayanan bus harus lebih cepat, mudah, dan dapat diandalkan.

Prioritas 8 – Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan dari kebijakan-kebijakan yang disusun, yaitu:

 mengaplikasikan kebijakan nasional ini dengan program tindakan tertentu setelah melalui konsultasi
 konsep peraturan nasional yang berpengaruh terhadap ketentuan yang tercantum pada hukum (UU 22) dan tujuan kebijakan
 mengembangkan standar yang sesuai untuk macam-macam tipe pelayanan bus dan minibus termasuk standar yang telah direvisi untuk sistem transit bus

Kota-kota akan menyusun kebijakan kota, mengusulkan strategi daerah untuk manajemen dan pengembangan transportasi umum sesuai dengan pedoman yang tersedia.
Kebijakan-kebijakan kota akan menjadi dasar dalam penyusunan rencana transportasi yang harus dibuat oleh kota sesuai dengan undang-undang transportasi yang baru (UU 22 / 2009).

BSTP akan memandu kota-kota secara efektif dan realistis mengenai prosedur perencanaan transportasi umum.

Perencanaan kota ini harus mencakup beberapa hal sebagai berikut:
 Peningkatan kualitas infrastruktur bus: terminal, skema prioritas bus, sistem pemantauan dan pelacakan, sistem tiket elektronik
 Regulasi pengaturan yang memberikan rute yang aman sebagai bentuk performa yang memuaskan yang disertai dengan system operasi yang kompetitif
 Strategi untuk mengurangi jumlah pengoperasian angkot disertai dengan penanganan dampak sosial terhadap pengemudinya sebagai akibat dari penambahan jumlah pelayanan bus resmi, antara lain dengan menawarkan rute baru sebagai rute pengoperasian angkot
 Pemberlakuan sistem manajemen permintaan transportasi (TDM) yang mana
 Mengarahkan demand pemilihan moda pada kendaraan umum, dimana pelayanan yang ditawarkan sudah dapat diandalkan

Prioritas 9 – Terminal

Sudah bukan menjadi keharusan lagi untuk bus perkotaan dioperasikan antar terminal (off street), akan tetapi hal-hal seperti ini seringkali menjadi kendala dalam penentuan rute bus. Pada umumnya, terminal berlokasi di lingkar luar kota, hal inilah yang menyebabkan jarak tempuh bus kota menjadi jauh. Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa untuk efisiensi yang lebih besar dan melakukan pemulihan biaya, maka rute bus sebaiknya dioperasikan secara radial yang mana berakhir/ berterminal pusat di pusat kota. Untuk memudahkan sistem transfer/ perpindahan penumpang (moda share), maka minimal satu atau lebih terminal bus harus dibangun dalam cakupan rute pengoperasian tersebut

Adapun pihak-pihak yang berwenang umumnya lebih memilih pembangunan terminal bus secara off-street. Pembangunan terminal ini bisa dilokasikan ditempat yang mempunyai bangkitan perjalanan yang besar, contohnya di dekat stasiun kereta. Jika terminal bus off-street tersebut tidak tersedia, maka sistem pengoperasian bus dengan rute radial ini diperbolehkan untuk transit atau berakhir di dalam jalur pengoperasian (on-street), yang mana keadaan ini bagaimanapun akan disertai dengan pengurangan jumlah beban kendaraan di jalan kota.

Aspek penting yang berkaitan dengan sistem pengoperasian bus adalah lokasi terminal yang tersedia harus seefektif dan seefisien mungkin dalam pemenuhan rute perjalanan penumpang, bukan di sembarang tempat kosong yang tersedia.

Secara implisit, kebijakan pengoperasian bus ini menegaskan bahwa beroperasinya sistem bus harus mampu mengembalikan biaya pengeluaran secara keseluruhan dari keuntungan yang didapat, namun jika tidak bisa mengganti biaya secara keseluruhan, maka setidaknya biaya operasional harus mampu dikembalikan

Besarnya jumlah permintaan perjalanan di kota-kota di Indonesia dan badan swasta yang mendominasi subsidi dari pengoperasian bus ini menunjukan bahwa pemulihan biaya pengoperasian secara keseluruhan dapat dicapai, jika jaringan rute dan jadwal pengoperasian bus direncanakan secara efisien dan efektif, serta pengoperasian bus yang disediakan dapat berkompetisi dengan moda transport lainnya, sehingga dapat terus meningkatkan kualitas pelayanan dan tetap dapat menekan tarif dan biaya serendah mungkin.

Prioritas 10 – Perencanaan Terpadu
Berdasarkan pada kendala – kendala utama dalam mencapai tujuan jangka pendek dari sistem transportasi umum, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

 Penawaran sistem operasional yang menarik bagi para investor yang disertai dengan keuntungan-keuntungan yang kira-kira akan didapatkan, dengan menetapkan kerangka peraturan yang jelas dan mendukung, memberikan perspektif layanan yang dapat diandalkan untuk beroperasi di rute yang telah ditetapkan dengan system kompetisi yang baik, dengan jadwal operasi yang jelas , dan control tarif yang baik
 Perencanaan rute seefektif dan seefisien mungkin, sehingga dapat terus ada, dimana dapat ditinjau dari titik bangkitan perjalanan yang dominan.
 Biaya perizinan (tariff dan truktur tariff) sebagai dasar perkiraan biaya. Subsidi jika diperlukan, sebetulnya hanya terbatas pada modal, bukan subsidi pada tariff (pengoperasian)
 Mengendalikan kompetisi dengan moda transport lain seperti angkot dan moda-moda publik lain, dengan lebih menerapkan peraturan yang lebh tegas.
 Memberikan jangka waktu operasi yang panjang untuk operator, (3-7 tahun, tergantung pada investasi yang ada)
 Penghargaan terhadap kualitas system pengoperasian dengan system tender yang kompetitif dan prosedur yang transparan
 Memastikan hak pengoperasian dijamin oleh undang-undang dalam bentuk kontrak operasional secara jelas.
 Mengendalikan kemacetan lalu lintas dan membuat jalur khusus untuk bus di tempat-tempat yang mempunyai bangkitan beban kendaraan yang tinggi, sehingga pada saat kemacetan terjadi, bus tetap dapat beroperasi dengan lancer dan sesuai jadwal
 Mengintegrasikan system pengoperasian angkot ke dalam skema transportasi secara terpadu, yang mana bertindak sebagai feeder
 Menyediakan sarana yang memadai untuk pengembangan infrastruktur bus , seperti skema prioritas, terminal,dan tanah untuk depot
 Meningkatkan kapasitas untuk perencanaan dan pengaturan secara efektif dalam system pemerintahan kota (Dishub, Bappeda, dll)





Prioritas 11 – Angkutan Lingkungan


Angkutan lingkungan (Ang-Ling) dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan perjalanan jarak pendek, yang saat ini dirasakan sangat mahal. Ang-Ling diharapkan menjadi pengganti angkutan ojek pada wilayah tertentu. Pelayanan Ang-Ling dilakukan untuk memudahkan aksesibilitas ke/dari kawasan perumahan (Origin) dan sekitar kawasan tujuan perjalanan (Destination).

Ciri Pelayanan Ang-Ling adalah :
 Rute terjadwal, tetapi bisa berupa trayek yang fleksibel, seperti taksi atau ride-sharing
 Waktu Operasi : sepanjang hari
 Pemberhentian : sangat sering, bahkan bisa di setiap blok kawasan
 Jenis kendaraan :
- Kecil, emisi rendah, kebisingan rendah
- Dapat beroperasi di kawasan perumahan, perkampungan atau jalan arteri sekunder
- Mudah melakukan naik-turun

 Kendaraan dan tempat hentinya mempunyai kesan khusus yang kuat, jika pelayanannya non regular atau jarang diperlukan pelayanan yang mudah dikenal


Prioritas 12 – Otoritas Kelembagaan Sistem Transportasi

Otoritas dalam sistem transportasi adalah mencakup seluruh pemerintah kota untuk memadukan sistem transportasi secara keseluruhan, termasuk pengembangan kebijakan, peningkatan pendanaan dan pendapatan, pengembangan struktur fisik, system operasi, pemeliharaan dan manajemen transportasi. Adapun hubungan interaksi institutional dapat terlihat pada gambar D.7.


Dalam evolusi kelembagaan untuk angkutan umum melalui 4 tahapan seperti yang terlihat pada gambar D.8


Dari gambar D.8 untuk penerapan kepada kota besar, dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tahap-1 : Dinas Perhubungan memberikan ijin kepada operator dan melakukan pengawasan bagi operator angkutan kota yang kepemilikannya masih individu,

Tahap-2 : Tahap konsolidasi dimana Dinas Perhubungan membentuk UPTD untuk melakukan tender dan kontrak kepada operator perusahaan yang sudah terorganisir untuk mengoperasikan angkutan umum berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM)

Tahap-3 : Tahap Outsourcing, dimana Dinas Perhubungan melalui UPTD mencari perusahaan menejemen dari pihak swasta yang berkualitas (outsourcing) melaui tender dengan kontrak jangka waktu tertentu untuk mengelola dan mengatur operator angkutan umum sesuai dengan standar operational procedure secara profesional sehingga dapat memaksimalkan pendapatan guna pembangunan dan peningkatan pelayanan kepada masyrakat. Perusahaan outsourcing tersebut bertanggung jawab sepenuhnya kepada Dinas perhubungan selaku pemberi kerja.

Tahap-4 : Tahap pengembangan, dimana Dinas Perhubungan dapat melakukan pengembangkan tahapan outsourcing pada tahap-3, tidak saja untuk angkutan umum, tetapi bisa untuk pengelolaan lainnya seperti TDM. Dimana setiap perusahaan menejemen outsourcing bidang pengelolaan masing-masing tersebut bertanggung jawab kepada Dinas Perhubungan

Untuk kota kecil dan kota sedang hanya dapat dilakukan sampai pada tahap 1 dan tahap 2 saja. Namun untuk jangka menengah dan panjang, apabila terjadi peningkatan terhadap demand angkutan umum yang besar, akibat pertambahan populasi yang besar sehingga sudah memenuhi persyaratan untuk dilakukan peningkatan pada tahap sistem transIt, maka untuk kelembagaan bisa sampai tahap-3 sesuai dengan perkembangannya

2. Paratransit – Angkot

1. Kondisi saat ini dan permasalahan


Paratransit (angkot) merupakan angkutan umum dengan katrakter kendaraan kecil, kepemilikan sebagian besar oleh individu, untuk melayani rute jarak pendek yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah kota, dengan pengawasan yang masih lemah. Tarif angkot cukup rendah, namun perawatan dan investasinya juga rendah, serta kelaikan kendaraannya sering menjadi masalah. Paratransit di negara maju tidak berkembang karena layanan angkutan umumnya sudah lebih baik dan untuk memperoleh subsidi pemerintah, harus memenuhi syarat pelayanan dan penegakan hukum yang ketat . Angkot sampai saat ini masih mendominasi pelayanan angkutan perkotaan di kota-kota Indonesia. Di Jakarta pada tahun 2007, perannya mencapai hingga 70%, untuk di kota Medan mencapai 75% dan di Jayapura mencapai 90%. Masalah penyelenggaraan angkot yang ada saat ini adalah besarnya beban izin yang harus ditanggung oleh pemkot (regulatory overload) yang masih memiliki kelemahan, tidak saja dari perizinan itu sendiri melainkan juga pada mutu pengawasan yang masih rendah sehingga kepemilikan individu yang banyak menjadi semakin banyaknya pungutan liar.

Harapan dalam pengembangan angkot kedepan adalah menjadi angkutan bus terorganisir sehingga menjadi andalan angkutan umum perkotaan, melalui proses penataan dengan konsep perbaikan kebijakan yang lebih terarah, penataan struktur industri yang responsif terhadap permintaan (demand), perencanaan dan peraturan sesuai kebijakan serta peningkatan sumber daya manusia. Selanjutnya angkot dapat terus dikembangkan menjadi sistem transit yang selanjutnya menjadi BRT.

Paratransit (Angkot) biasanya melayani kategori perjalanan yang sifatnya jarak pendek, seperti perjalanan ke sekolah atau ke pasar. Angkot biasanya tidak dipakai untuk perjalanan komuter reguler ke tempat kerja. Kendati demikian, saat kualitas angkutan umum memburuk, angkot cenderung menggantikan peran angkutan umum.

Hal ini sudah mulai terjadi di banyak kota-kota di Indonesia. Oleh karena itu, masalah kebijakan harus terus diupayakan untuk mengembalikan paratransit ke peran yang sebenarnya, dan mendesak diadakannya perbaikan sistim angkutan umum .
Pertumbuhan jumlah angkot yang tidak terkendali di kota-kota Indonesia memberikan sumbangan besar pada kemacetan lalu lintas, polusi udara dan polusi suara, serta penggunaan ruang publik yang besar, di mana para pejalan kaki dan mereka yang bersepeda tidak mendapatkan ruang agar bisa bergerak sebagaimana mestinya

2. Strategi Kebijakan

Prioritas 1 – Pengorganisasian


Kepemilikan angkot secara pribadi serta pengoperasian secara informal perlu dikurangi dan direorganisasi secara legal dibawah lisensi rute yang diatur oleh badan yang menyediakan jasa layanan rute tersebut. Badan pemilik jasa layanan tersebut perlu asisten manager untuk membantu pengaturan pelaksanaan manajemen angkutan umum, bahkan jika diperlukan perlu mempunyai asisten keuangan untuk lebih mempunyai perusahaan yang sejahtera dan sehat.


Prioritas 2 – Feeder
Angkot dianggap sebagai bagian integral dari komposisi kota, angkot-angkot ini bertindak sebagai pengumpan (feeder) untuk mengumpulkan penumpang dari daerah-daerah untuk selanjutnya terhubung dengan layanan bus/BRT/MRT.

Prioritas 3 – Terpisah “Not Interfere”
Angkot mempunyai rute khusus di mana mereka tidak saling mengganggu atau bersaing dengan rute bus/BRT/MRT atau rute sesama angkot itu sendiri.

Prioritas 4 – “Franchising”

Badan pemilik jasa layanan angkot berwenang untuk mendesain rute sekunder dan menawarkan lisensi terhadap operator-operator angkot untuk menjalankan operasi di rute tersebut. Sebagai persyaratan, operator harus diorganisir sebagai salah satu bagian dari perusahaan dengan struktur manajemen yang aktif dan efektif. Operator yang dianggap memenuhi syarat akan mendapat izin lisensi untuk mengoperasikan angkotnya pada rute yang telah ditetapkan. Kriteria penyeleksian ini adalah dalam hal kualitas manajemen pengoperasian dan kondisi armada yang dimiliki, termasuk kinerja dan nilai tariff yang ditawarkan

Prioritas 5 – Standar Kualitas Pelayanan

a. Kualitas pelayanan dari sistem pengoperasian angkot, harus mencakup 6 hal sebagai berikut :
- Frekuensi bus (headway)
- Tingkat keterisian penumpang pada jam sibuk (occupancy)
- Keselamatan (tingkat kecelakaan)
- Informasi (ketepatan jadwal)
- Keterpaduan dengan moda lain (keterpaduan layanan engan BRT dan MRT)
- Ketersediaan (waktu ketersediaan moda)
b. Audit secara rutin (6 bulan sekali)
c. Adanya sanksi untuk pengoperasian yang tidak sesuai peraturan

Prioritas 6 – Tarif
Tarif angkot ditetapkan sesuai dengan skala tariff yang ditentukan oleh Badan Otoritas Angkutan Umum, sedangkan perusahaan bus dapat mengajukan sendiri permohonan untuk kenaikan tarif bus namun tetap perlu adanya persetujuan dari Badan Otoritas Angkutan Umum tersebut. Untuk rute pergerakan perjalanan utama di daerah perkotaan, akan dilayani oleh angkutan bus formal.

Peraturan yang ditetapkan pada pengoperasian angkot ini terdiri dari :
 Tidak menyediakan pelayanan transfer antar angkot (Non-transferable), lisensi rute terbatas
 Rute eksklusif, terpisah dari rute bus
 Ketetapan hanya untuk berhenti di tempat-tempat pemberhentian khusus yang telah disediakan
 Ketetapan untuk mengeluarkan tiket secara resmi
 Kualitas kendaraan yang masih dalam kondisi baik
 Inspeksi/pemantauan kelayakan kualitas kendaraan yang ketat

Sektor angkot ini telah terbukti sebagai sektor angkutan umum yang paling sulit untuk diatur dan dikelola secara tertib, yang mana, sejauh ini sistem kepemilikan dan pengoperasian angkot secara individu lebih menarik dan lebih menguntungkan, serta kebijakan dan penegakan hukum yang kurang tegas dan jelas.

Prioritas 7 – Dampak Sosial

Implikasi sosial dapat dikatakan sebagai transisi dari kondisi pengoperasian saat ini menuju kondisi yang tertata dan teratur. Tujuannya adalah untuk menyediakan sistem pengoperasian angkutan umum yang intensif untuk terlibat dalam sistem operasi legal di bawah lisensi rute yang jelas. Dalam hal ini perlu adanya pertanggung jawaban dalam sistem pelayanan yang ditawarkan, seperti ( kapasitas minimum dari angkot dan frekuensi pelayanannya), tetapi tetap menjamin tingkat keuntungan yang sesuai dan meadai untuk kurun waktu 3 tahun ke depan.

Angkot akan menikmati keistimewaan hak ekslusif untuk beroperasi di rute-rute spesifik untuk suatu waktu tertentu, di mana ada perlindungan dari kompetisi liar. Karena kapasitas sesuai dengan permintaan, dan angkot diberi hak untuk menentukan harga yang ekonomis, maka terbukalah perspektif yang bermanfaat secara operasional dan ekonomis untuk sistem yang diregulasi ini.

Di sisi lain, tekanan mungkin bertambah dengan adanya strategi untuk mengurangi jumlah angkot secara substansi dan menggantikannya ke sistem-sistem bus yang lebih besar dan lebih resmi karena para pengemudi angkot (yang kebanyakannya
lelaki muda) akan terancam. Namun demikian, mereka masih bisa diserap oleh kebutuhan untuk pengoperasian bus

Prioritas 8 – Perubahan Menjadi Angkutan Umum Formal dan Berlisensi

Akibat adanya sistem pengurangan terhadap pengoperasian angkot dan moda angkutan umum illegal lainnya, maka dalam rangka untuk meminimalisir dampak negative pada operatornya, perlu dipahami beberapa hal sebagai berikut :
 Memahami sepenuhnya kepentingan dari berbagai pihak, baik itu legal dan illegal.
 Membangun issu politik yang dapat membantu mengatasi masalah seperti dalam hal kontrol pada transportasi massal yang harus transparan melalui sistem kontrak untuk mendapatkan hak beroperasi dan berusaha guna mengurangi adanya kesempatan untuk melakukan pengoperasian illegal
 Adanya penyebar luasan issue melalui media dan debat public yang dapat diprakarsai oleh lembaga-lembaga yang terkait, seperti BSTP/Departemen Perhubungan
 Memberikan insentif untuk mengurangi jumlah angkot

Prioritas 9 – Dampak Lingkungan

Selama proses transisi perpindahan moda berlangsung, tidak diberlakukan lagi system peremajaan bagi angkot yang sudah melebihi batas usia keekonomiannya dan untuk kendaraan yang masih laik jalan harus dilakukan uji emisi secara berkala dengan pengawasan pengujian dilakukan ketika memperpanjang ijin operasi (KIR) dimana mesin diesel atau pun yang menggunakan bensin lebih menguntungkan jika menggunakan CNG atau LPG, tetapi untuk mini bus yang mempunyai jangka operasi yang panjang untuk pasar, maka kota yang bersangkutan akan mendukung dan memberikan insentif untuk beroperasi.

Prioritas 10 – Manajemen Lalu Lintas

Strategi yang diharapkan dapat berhasil, untuk mengurangi jumlah pengoperasian angkot di koridor utama kota, perlu dilakukan manajemen lalu lintas kota sebagai berikut :

 Adanya zona khusus bebas angkot “zona bebas angkot” – area yang dibatasi oleh rambu-rambu jalan dimana tidak boleh ada angkot yang diperbolehkan untuk pengangkutan penumpang, baik setiap waktu atau hanya waktu-waktu tertentu
 Adanya “zona bebas parkir angkot” – area dimana sepanjang jalan tersebut angkot dilarang untuk berhenti baik itu untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, baik setiap waktu atau hanya pada waktu-waktu tertentu.
 Adanya “zona berhenti khusus angkot” – atau area dimana angkot diperbolehkan berhenti baik untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, namun pemberhentiannya telah ditetapkan (halte).

Setiap alat yang digunakan sebagai acuan manajemen lalu lintas, perundang- undangan atau peraturan yang ada harus ketat untuk mendapatkan fokus dan perhatian yang lebih besar, sehingga lebih tertata dan teratur dalam pengaplikasiannya.

Undang-undang transportasi No.22/2009 memberikan penjelasan untuk bagian- bagian tersebut, seperti :

- Halte/ tempat pemberhentian penumpang (Pasal 143)
- Rute operasi angkutan umum (Pasal 158)
- Sistem pembayaran Tarif (Pasal 167)

Undang-undang Nasional, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah hanya berarti jika kebijakannya dapat diimplementasikan dengan ditegakkannya law in forcement yang bertanggung jawab. Hal yang paling penting adalah semua pihak bertanggung jawab dalam implementasi dan penerapan dari kebijakan dan undang-undang yang telah dibuat dengan mematuhi peraturan dengan menunjukan transparansi hukum, menjaga implementasi sesuai dengan porsi kebijakan yang telah diatur, serta proses penegakannya yang tetap konsisten.

Setiap adanya ketidak sesuaian dan penyimpangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan, maka akan berpengaruh terhadap kepercayaan dan wewenang dalam kepemimpinan


3. Taksi

Angkutan Taksi adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang diberi tanda khusus, memenuhi syarat-syarat teknis, dilengkapi dengan argometer, untuk melayani angkutan dari pintu ke pintu (door to door) dalam wilayah operasi tertentu.

a. Kondisi saat ini dan permasalahan
Permasalahan dalam penyelenggaraan transportasi taksi adalah :
 Belum tersedianya SPM (Standar Pelayanan Minimum) sebagai alat ukur kinerja dan pelayanan taksi;
 Belum ada aturan yang jelas yang mengenai lisensi izin operasi taksi;
 Belum tersosialisasinya upaya Pemerintah dalam mengawasi tarif taksi; dan
 Belum adanya sistem integrasi antara moda taksi (yang berpotensi sebagai feeder) terhadap layanan angkutan umum lainnya.

Keberadaan pengoperasian taksi di Indonesia sudah cukup menyebar di beberapa kota dan provinsi, namun masih memiliki perbedaan dalam hal kualitas pelayananan dan legalitas operasionalnya. Berdasarkan data Perhubungan darat 2009, tercatat bahwa beberapa kota yang sudah mengoperasikan taksi sebagai angkutan umum dengan jumlah yang besar, seperti : Jakarta 20.642 buah armada, Jawa Barat 9.720 buah armada, Riau 2.938 buah armada, dan Bali 2.118 buah armada.

Jakarta merupakan kota yang memiliki jumlah pengoperasian Taxi yang tertinggi, dimana kualitas pelayanan taksi di Jakarta sudah mencapai taksi eksekutif seperti Blue Bird, Ratax Armada, dan Silverinda Nusabird serta sudah mencapai SPM dengan baik. Namun untuk sementara SPM taksi di Indonesia, sampai saat ini masih belum jelas dan belum ditetapkan.

b. Tujuan yang Ingin dicapai (Visi)

Visi Penyelenggaraan Transportasi Taksi adalah terwujudnya moda taksi sebagai angkutan yang handal dan nyaman menyerupai kendaraan pribadi, sebagai alternatif layanan angkutan umum.

c. Strategi Mencapai tujuan

Tingkat Pelayanan Taksi


Pemerintah berkewajiban untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat pelayanan angkutan Taksi yang dievaluasi setiap tahun.

Masyarakat turut terlibat dalam menilai tingkat pelayanan transportasi taksi secara aktif maupun pasif.

Indikator pelayanan transportasi taksi meliputi :
 Kenyamanan (dimensi yang layak dan tersedianya pendingin ruang, sistem informasi, media audio dan visual);
 Keamanan (jumlah dan angka kecelakaan, terutama yang melibatkan kendaraan taksi); dan
 Tingkat dan kadar polusi akibat bahan bakar yang digunakan.

Kendala dan Hambatan
Kendala dan hambatan dalam Penyelenggaraan Transportasi Taksi :
- Prinsip keselamatan, keamanan dan kenyamanan belum sepenuhnya dipahami oleh operator dan pengemudi
- Pengaturan waktu gilir (shifting) operasional taksi belum terkoordinasi dan terpantau oleh pemerintah

Evolusi Taksi
Proses transformasi evolusi taksi, dapat dilihat pada gambar dibawah ini


Proses dari evolusi taksi seperti gambar di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tahap 1 : Taksi Gelap. Taksi-taksi ini biasanya berupa taksi yang masih illegal, tidak berlicensi, kondisi tidak nyaman, non argo, dan jaminan keselamatan rendah. Taksi gelap ini untuk sementara banyak beroperasi di Bandung, Palembang, Lampung, dan Bogor.

Tahap 2 : Legalisasi dan Konsolidasi. Pada tahap ini, taksi-taksi gelap tersebut sudah lebih baik kondisinya, karena sudah memiliki bentuk perusahaan yang jelas, lebih resonsif terhadap regulasi, SPM terpenuhi, sehingga kondisi keamanan dan keselamatan lebih terjamin. Taksi-taksi yang sudah berada pada tahap ini beroperasi di Medan, Semarang, Solo, dan Yogyakarta.

Tahap 3 : Deregulasi. Pada tahap ini taksi-taksi mengalami peningkatan kualitas baik itu dari segi fasilitas taksi,pelayanan taksi, tingka jaminan keamanan dan keselamatan. Taksi-taksi yang sudah pada tahap ini beroperasi di Jakarta.

Tahap 4 : Liberalisasi. Untuk sementara di Indonesia taksi pada tahap liberalisasi ini masih belum tercapai. Pada tahap ini terdapat proses kompetisi antara taksi dengan moda angkutan umum lain, sehingga tariff menurun. Tahap ini sudah dialami oleh Negara-negara maju, contohnya seperti Singapura.

Jika tiap tahap dari evolusi taksi tersebut dibuat indikator pencapaian berdasarkan pengguna, operator, dan regulator, maka ukuran pencapaiannya dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini :


Program Kerja (Time Frame)

Prioritas 1 – Standar Umum Taksi

Pengkategorian kendaraan taxi adalah berdasarkan dimensi, jumlah pintu, besar ruang bagasi, jenis bahan bakar yang digunakan, peralatan keselamatan, kenyamanan (seperti : AC, sistem informasi, tv atau radio). Kisaran standar untuk kategori kendaraan taxi dimulai dari yang kategori sederhana sampai dengan kategori mewah, akan menentukan besar tarif yang harus dibayarkan oleh penumpang, serta berpengaruh juga terhadap daerah operasi yang disetujui.Adapun kebijakan yang diatur dalam sistem operasi taxi ini adalah dalam hal :
- Standar minimum untuk desain kendaraan;
- Standar minimum untuk pelayanan;
- Memperoleh dan memperpanjang izin operasi;
- Sistem komunikasi;
- Sistem operasional.

Prioritas 2 – Pengendalian Emisi Kendaraan

Pengoperasian taksi di pusat kota di Indonesia akan terbatas pada mereka yang mengoperasikan moda kendaraan sesuai dengan standar lingkungan yang ditetapkan, yang mana mengacu pada nilai emisi kendaraan yang dihasilkan. Untuk periode jangka panjang, kebijakan dan peraturan yang berlaku, dimungkinkan akan mendukung publikasi mengenai taxi berbahan bakar gas, namun tetap perlu adanya kesiapan dari industri untuk bisa diterima di pasar transportasi Indonesia.

Prioritas 3 – Kalibrasi (jarak dan tariff)

Kalibrasi pada taximeter ini diverifikasi secara resmi dan rutin oleh pihak otoritas yang berwenang. Taksimeter ini harus mudah dibaca terutama ketika digunakan untuk mengantarkan demand perjalanan yang mengenakan biaya tambahan dalam perjalanannya seperti tariff tol, biaya parkir, kelebihan muatan bagasi, waktu tunggu, pajak bandara atau pemesanan.

Prioritas 4 – Desain Kendaraan

Desain kendaraan untuk taksi diprioritaskan untuk lebih memperhitungkan dalam hal keselamatan, kenyamanan dan dampak terhadap lingkungan. Sebagai alternatif pelayanan transportasi umum perkotaan yang cukup eksklusif desain dari taxi tidak harus selalu aerodynamic seperti sedan pribadi pada umumnya, namun lebih mengutamakan kenyamanan dalam hal tinggi pintu dan lantai kendaraan, sehingga semaksimal mungkin memudahkan penumpang untuk naik dan juga memungkinkan tidak adanya halangan pada pandangan pengemudi dan penumpang selama berkendara.

Prioritas 5 – Sistem Komunikasi

Pada dasarnya taksi merupakan angkutan umum yang menawarkan pelayanan dan kenyamanan paling baik serta hampir mendekati tigkat kenyamanan kendaraan pribadi, karena taksi bisa dipesan melalui telepon atau internet sehingga mempunyai pilihan waktu perjalanan kapan saja, melayani perjalanan penumpang dengan sistem “door to door service”, dan menawarkan pelayanan naik dan turun penumpang disemua tempat di seluruh kota. Taksi harus dilengkapi dengan GPS untuk dapat dilacak keberadaan lokasinya. Untuk mencegah taksi berhenti di sembarang tempat seperti di tengah jalan atau di halte bus, maka penegakkan hukum secara tegas harus dapat diimplementasikan.

Prioritas 6 – Area Tunggu

Area khusus tunggu taksi perlu dilokasikan secara strategis, dimana mempunyai akses yang mudah dijangkau dari titik yang mempunyai bangkitan perjalanan yang tinggi, yang mana ketika fasilitas untuk pejalan kaki telah memadai, maka area tunggu taxi akan berada tidak jauh dari pusat area pejalan kaki ini. Pemerintah perlu mengalokasikan area tunggu taksi di pusat kota untuk memudahkan calon penumpang menemukan taksi dan juga mengurangi beban taksi yang harus berkeliling untuk menemukan penumpang.

Prioritas 7 – Sistem Moda Terpadu

Taksi mempunyai peranan yang penting sebagai pengumpan (feeder) bagi layanan angkutan umum lainnya, karena taksi ini menawarkan sistem antar jemput yang dapat memenuhi perjalanan dari asal sampai tujuan akhir perjalanan, atau sampai pada pemberhentian untuk pindah ke moda berikutnya, tergantung pada pesanan dari penumpang itu sendiri. Akan ada sistem operasi pengisian dan penurunan penumpang di tempat yang paling nyaman dan mempunyai akses yang mudah untuk menuju stasiun BRT atau MRT terdekat serta stasiun kereta api dan terminal bis.

Prioritas 8 – Lisensi Izin Operasi

Lisensi izin operasi bagi pengemudi taksi, berbeda dengan lisensi izin biasa. Pengemudi taksi harus memiliki lisensi khusus untuk dapat beroperasi. Untuk mendapatkan lisensi khusus ini (tidak dapat dipindah tangankan) harus melewati ujian dan juga mengikuti uji keahlian dalam hal :
- Dapat menghemat energi dan tahan untuk mengemudi
- Mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan radio
- Mempunyai pengetahuan yang baik tentang rute utama jalan kota, tempat-tempat menarik dan kritis, serta rute tercepat dan ternyaman untuk sampai ke sana
- Sehat jasmani dan rohani

Prioritas 9 – Sistem Pembayaran

Sistem pembayaran pada taksi, selain dapat menggunakan fasilitas kartu tunai atau kartu kredit, akan tersedia juga fasilitas pembayaran dengan menggunakan kartu prabayar elektronik, yang mana pada saat yang sama berlaku juga untuk jaringan transportasi umum yang lain, sehingga pembayaran tarif untuk semua mode transportasi dapat dilakukan dengan waktu singkat, sehingga sistem pembayaran akan lebih singkat dan mempunyai daya tarik yang lebih kuat untuk mendorong para pelaku perjalanan untuk menggunakan moda angkutan umum.

4. Ojek

a. Masalah dan Harapan

Ojek memainkan peranan penting dalam melayani sistem transportasi di perkotaan di Indonesia karena kemampuannya mengisi gap integrasi moda transport dan kebutuhan perjalanan jarak pendek. Fenomena ojek secara dramatis dimulai sejak awal abad 21, muncul sebagai akibat tingginya tingkat pengangguran di perkotaan, terutama sejak krisis moneter 1998. Ojek dominan digunakan sebagai moda transportasi antara, sebelum masuk ke angkutan umum utama (Bus, KA) sebanyak 24% (Bandung)- 37% (Bukittinggi) dan sesudahkeluar angkutan umum utama sebanyak 21% (Bandung)- 45% (Bukittinggi).

Masalah utama ojek adalah rendahnya standar pelayanan (keamanan, keselamatan, tarif) yang diberikan kepada pengguna. Ojek sampai sekarang tidak memiliki ketentuan yang mengatur dalam bentuk regulasi pemerintah, tentang kebutuhan perjalanan. Jika disebut angkutan “terlarang” ternyata ojek dibiarkan tumbuh. Jika disebut angkutan “khusus” ternyata tidak diatur dalam UU 22/2009 maupun PP terkait.

Pengembangan jaringan jalan lingkungan yang sangat terbatas, karena geometrik jalan yang sempit (jalan perumahan atau jalan lingkungan dengan lebar <5m), jalan yang rusak (kondisi kerusakan yang tidak segera mendapat perhatian), kemacetan yang tinggi (ojek akan menggunakan badan jalan atau trotoar atau menggunakan arus berlawanan arah), akan mendorong orang menggunakan ojek daripada kendaraan pribadi atau angkutan umum. Keberadaan angkutan umum yang tidak responsif (frekuensi terbatas, rute berputar-putar, perjalanan lambat dan tidak masuk pada jalan-jalan lingkungan) akan menyebabkan ojek akan terus berkembang. Ojek hendaknya dikurangi secara terarah sehingga keberadaannya dapat dihilangkan, dengan persyaratan terjaminnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan tersedianya angkutan umum yang memadai sesuai karakteristik kebutuhan pengguna ojek saat ini. b. Strategi dan Kebijakan Pemerintah harus melakukan inisiatif memperbaiki sistem angkutan ojek dengan cara: - Kebijakan 1) Membatasi penggunaan ojek, dengan meningkatkan sistem feeder angkutan umum berbasis angkutan kawasan tertentu (AKT) yang frekuensi pelayanannya tinggi, cepat dan berbiaya murah, dengan kapasitas angkut lebih besar dari ojek. 2) Melakukan peningkatan sistem pelayanan minimal angkutan umum, melalui perbaikan sistem feeder angkutan umum. 3) Mengatur pentarif-an dengan menetapkan formula tarif ojek dan menyusun mekanisme batas atas dan batas bawah sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. 4) Melakukan perbaikan prasarana jalan, khususnya perbaikan kualiktas disertai dengan pelebaran jalan lingkungan, sehingga akses angkutan umum dapat menjangkau wilayah yang lebih luas - Perundang-Undangan Penyusunan UU tentang Sepeda Motor, termasuk didalamnya mengenai operasional angkutan umum berbasis sepeda motor (ojek). Refer: Dhaka Urban Transport Policy (2005), maka: “The Government will undertake a review of the Motor Vehicle Act and will revise it to change the method of licensing and fitness testing of ojek so that both drivers and vehicles will require to pass Government prescribed regulations before being permitted to operate”. - Pengawasan 1) Meningkatkan kemampuan institusional Dinas Perhubungan dalam bidang monitoring angkutan umum. 2) Mengembangkan teknologi sistem pengawasan angkutan umum. 3) Melakukan pelatihan pengemudi ojek untuk dikader menjadi pengemudi yang baik dan siap diberdayakan sebagai pengemudi angkutan kawasan tertentu (AKT) 4) Membangun pangkalan strategis dengan bantuan pemerintah daerah, yang difungsikan bagi pangkalan angkutan kawasan tertentu, sebagai substitusi ojek - Tahapan Perubahan dari kondisi ojek saat ini menjadi kondisi dimana ojek dapat dihilangkan dibutuhkan proses tahapan sebagai berikut : Tahap 1 - Kondisi saat ini, dimana pelayanan ojek tidak nyaman, informal, keselamatan rendah. Tahap 2 - Legalisasi dan Konsolidasi, dimana operasional ojek dilakukan dalam bentuk perbaikan manajemen dalam bentuk pengelolaan berbasis perusahaan, sehingga harus responsif terhadap regulasi dan pelayanan keamanan menjadi lebih terjamin. Tahap 3 - Reduksi Signifikan, dimana jumlah ojek berkurang karena perkembangan angkutan massal yang berdaya jangkau luas, kualitas bagus, kompetitif dan terpadu dengan moda transportasi angkutan umum lainnya. Tahap 4 - ojek menghilang, dimana proses persaingan berlangsung secara kompetitif, karena kalahnya ojek dalam persaingan dengan moda lain yang lebih cepat, daya jangkau door-to-door, murah dan nyaman


5. Bus Rapid Transit (BRT)

a. Kondisi dan Permasalahan

Bus merupakan alat transportasi massal yang paling banyak digunakan di belahan dunia, namun saat ini keberadaannya tidak selalu mendorong keinginan masyarakat untuk menggunakannya. Untuk situasi di Indonesia, hal ini cenderung diakibatkan oleh pelayanannya yang tidak dapat diandalkan, tidak nyaman dan tidak aman.

BRT (Bis Angkutan Cepat) bisa memberikan suatu alternatif layanan terjangkau di kota-kota dan perkotaan yang memiliki koridor demand yang tinggi. Tujuan dari pengembangan BRT di kota-kota di Indonesia yaitu untuk memindahkan angkutan pribadi dengan angkutan massal yang cepat, berkualitas tinggi, aman, efisiensi dan murah, dan yang paling penting bukan memindahkan kendaraannya. Penerapan BRT sudah dimulai dengan beroperasinya sistem TransJakarta sejak tahun 2004 dengan menerapkan prinsip lessons learned dari kota-kota BRT di dunia dan sudah saat ini mencapai kapasitas ± 8.000 penumpang/jam/koridor. Jumlah ini masih terbilang sangat rendah dibandingkan kesuksesan penerapan BRT di negara lain seperti di kota Bogota. Hal ini lebih disebabkan oleh kemampuan institusional yang belum maksimal. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mulai bertahap menuju ke sistem BRT walaupun saat ini masih beroperasi dengan status “system transit”. (lihat pendahuluan angkutan umum).

Visi kedepan diharapkan sistem BRT ini dapat menjadi tulang punggung masyarakat perkotaan khususnya di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar. Selain itu setidaknya pada tahun 2030 ada 6 kota di Indonesia yang mampu merencanakan, mengoperasikan dan memelihara sistem BRT berkelas dunia.

Gambar diatas memberikan spectrum evolusi angkutan umum dari sistem tradisional informal transit service (angkot) ke arah BRT yang sepenuhnya. Dimanakah posisi kota-kota Indonesia saat ini dan mau dibawa sampai ke tahap manakah?


b. Strategi dan Solusi

Strategi menuju kesuksesan pengelolaan BRT sejalan dengan pengelolaan bis yaitu melalui 4 pilar :

1. Kebijakan yang terarah, tujuan dan strategi pencapaian yang realistis
2. Struktur sektor angkutan yang patuh terhadap peraturan dan mampu dalam menyediakan layanan yang responsif terhadap permintaan
3. Kerangka perencanaan dan peraturan yang mampu mencapai tujuan-tujuan kebijakan
4. Adanya perencanana dan regulator yang handal

Proses perencanaan BRT yang terarah secara logis dapat dicapai dalam waktu 12-18 bulan dan bisa dikategorikan dalam delapan tahap . Pada gambar D.17 dan D.18 merangkum keseluruhan tahap tersebut. Namun dari semua tahapan tersebut kunci utamanya yaitu berada di political leadership, tanpa adanya kemauan politik yang kuat dari pemimpin maka akan sulit untuk memenangkan dukungan publik.

Prinsip-prinsip penting terkait dengan pengembangan BRT:

• Biaya operasional bebas subsidi
• Penentuan koridor tidak saja hanya berdasarkan jumlah populasi dan luas suatu kota, namun berdasarkan :
a. analisis demand dikoridor tersebut
b. meminimalkan jarak perjalanan dan waktu perjalanan bagi segmen populasi terbesar
c. dalam beberapa jalur awal hendaknya dikembangkan di kawasan masyarakat menengah ke bawah yang memeprlihatkan BRT sebagai daya tarik bagi pembangunan yang positif
d. pengembangan koridor seluruh kota (city wide) yang akan menstimulasi dukungan politik
e. Rasio pegawai dan bis harus efisien
f. Integrasi yang didukung oleh feeder dan moda transportasi lainnya
g. Sistem control terpusat dengan derakat manajemen dan control sistem yang tinggi




Adapun kendala yang secara umum yang sering dihadapi di lapangan meliputi :
(1) Kemauan politik;
(2) Informasi;
(3) Kemampuan institutional;
(4) Kemampuan teknis;
(5) Pembiayaan (financing);
(6) Keterbatasan geografis/fisik.


c. Action Plan

Gambar D.19 berikut ini mengilustrasikan proses perencanaan BRT dari awal sampai akhir dalam waktu hingga 18 bulan


6. Kereta Api Perkotaan

a. Kondisi Eksisting dan Target

Kereta api (KA) menjadi moda transportasi darat utama sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, namun perannya semkin menurun. Panjang jaringan jalan KA 7.583 km tetapi 2.500 km diantaranya telah ditutup. Pelayanan KA penumpang hanay berada di pulau Jawa dan Sumatera, dengan komposisi kelas eksekutif 15%, bisnis 27% dan ekonomi 59%. KA perkotaan dilayani dengan KA komuter dan hanya tersedia di kota-kota metropolitan Jakarta (Jabodetabek), Bandung (Bandung Raya), Surabaya (Gerbang Kartosusilo) dan Semarang (Kedungsepur). Peran KA perkotaan masih sangat kecil, dimana untuk wilayah Jabodetabek jumlah pengguna perjalanan KA baru mencapai 2-3% dari total perjalanan orang per hari.


Target yang diharapkan dalam pengembangan KA Perkotaan adalah pengembangan MRT berbasis rel (subway dan elevated) yang dapat melayani seluruh kota metropolitan, sehingga menjangkau kota Medan, Palembang dan Makassar pada tahun 2030. KA perkotaan yang ada saat ini ditingkatkan kemampuannya sehingga dapat melayani dengan headway 3 menit per arah pada jam-jam puncak. Koridor BRT di wilayah kota metropolitan yang potensial, berkembang pesat dan lahannya mencukupi dapat dikonversikan menajdi KA Perkotaan.

Strategi

Agar di kota-kota metropolitan di Indonesia, KA Perkotaan menjadi pilihan utama, diperlukan strategi yang jelas dalam kurun 20 tahun kedepan, sebagai berikut :
Prioritas 1- Aksesibilitas
Untuk sebagian besar warga masyarakat, bus bukanlah pilihan utama mereka untuk melakukan transportasi, karena hal itu di daerah pusat kota harus disediakan akses pejalan kaki yang menarik menuju stasiun KA Perkotaan yang berada tidak lebih dari
1 km dari pusat kota. Akses bagi pejalan kaki ini dapat dilalui dengan waktu kurang dari 10 menit.
Prioritas 2- Pengembangan Lahan Komersial
Bisnis di sekitar stasiun kemudian ditingkatkan seiring dengan kembalinya ruang publik sebagai akibat dari menurunnya jumlah kendaraan pribadi, sehingga para penumpang dapat menikmati kehidupan perkotaan sebelum ataupun sesudah menaiki kereta.

Prioritas 3- Jaringan
Kota-kota dengan ukuran cukup luas disarankan untuk membangun jaringan sistem MRT yang menjangkau daerah CBD dan menghubungkan permintaan komuter yang bertambah.
Dengan semakin luas dan padatnya jaringan yang dibangun, maka akan menjadi pilihan transit yang menarik, tidak hanya jumlah penumpang yang bertambah, tetapi juga penambahan jumlah penumpang per kilometer. Hal ini diharapkan dapat membuat keuntungan dari sisi penjualan tiket.
Priroitas 4- Efisiensi Investasi
Kebutuhan investasi ditentukan oleh permintaan penumpang dengan sejumlah investasi yang mampu dikeluarkan oleh kota.
Kebutuhan investasi yang besar tidak sanggup dipikul oleh anggaran belanja kota sendiri, sehingga memerlukan dukungan dari anggaran dari Pemerintah Pusat, serta sektor swasta, termasuk perbankan.
Dengan sejumlah pendanaan diserap oleh sektor penelitian dan pengembangan, desain dan perencanaan seperti juga desain rolling stocks, terdapat potensi yang cukup besar untuk mengurangi biaya per unit / km jika sistem dimultiplikasi di dalam kota atau di antara beberapa kota (termasuk permintaan ke luar).
Prioritas 5- Kelembagaan
BSTP di bawah Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan pemerintah kota mengambil peran untuk berkoordinasi yang berhubungan dengan persoalan teknis (BPPT, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, dll), keuangan (Kementerian Keuangan), dan perencanaan (Bappenas) juga konstruksi (Kementerian Pekerjaan Umum).
Prioritas 6- Integrasi
Jalur kereta komuter yang sudah ada maupun yang sedang dibangun (seperti MRT Jakarta) ataupun yang baru setengah dibangun (Jakarta Monorel), harus diintegrasikan dengan jaringan, dengan moda yang sudah ada meningkatkan kapasitasnya dan membuat jalur langsung menuju stasiunnya, struktur monorel digunakan ulang untuk struktur yang memiliki elevasi lebih tinggi untuk jaringan mass rapid transit yang lebih luas.

- Rencana Aksi Angkutan Umum
Adapun rencana aksi angkutan umum secara keseluruhan dapat dijelaskan pada table D.2 sebagai berikut :