1. Permasalahan dan Harapan
Persentase pengguna angkutan umum perkotaan di Indonesia terus mengalami penurunan persentasi, rata-rata sebesar 1% per tahun (MTI, 2005), bahkan di kota Jakarta diperkirakan mencapai 3% per tahun (Sitramp, 2004, JUTPI, 2010). Kepemilikan kendaraan pribadi baik sepeda motor dan mobil yang meningkat karena kemudahan yang dinikmati penggunanya memberikan kontribusi terhadap kenaikan jumlah tersebut. Biaya transportasi merupakan komponen yang sangat signifikan, rata-rata mencapai 15-20%, bahkan di Jakarta dapat mencapai 25-30% dari pengeluaran bulanan rumah tangga. Pengembangan sistem BRT (busway) Jakarta sejak 2004 merupakan inovasi reformasi angkutan umum berdasarkan lesson learned kota-kota di dunia, namun masih jauh dari mencukupi kebutuhan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Tiga belas kota, dengan bantuan Kemenhub, telah memulai inovasi sistem mini BRT dengan beberapa keterbatasan, yang dikenal dengan “sistem transit”. Kota-kota tersebut adalah Palembang, Yogyakarta, Bogor, Solo, Batam, Pekanbaru, Semarang, Manado, Gorontalo, Bandung, Tangerang, Sarbagita dan Ambon. Sampai dengan pertengahan tahun 2010 telah beroperasi 32 koridor sistem transit, atau rata-rata per tahun bertambah 6 koridor baru, sehingga total mencapai 570,5 km.
Kota-kota yang sustainable secara ekonomi, sosial dan lingkungan adalah visi kota yang diperkuat oleh pelayanan angkutan umum sebagai tulang punggung pergerakan mayoritas penduduk, berdaya saing dan memberikan kontribusi terhadap rendahnya biaya transportasi penduduk. Target yang diharapkan adalah modal share angkutan umum merupakan sedikitnya 50% dari rata-rata seluruh perkotaan, dan untuk wilayah pusat kegiatan (city center) merupakan 80% dari modal share. Biaya transportasi dapat diturunkan sehingga menjadi 50% dalam kurun 20 tahun mendatang, lebih ramah lingkungan, bebas dari pungutan liar, aman, nyaman dan terintegrasi dengan seluruh moda.
2. Evolusi Angkutan Umum
Perkotaan di Indonesia mengalami evolusi kemajuan sistem angkutan umum berdasarkan sejarah perkembangan kota. Secara umum, kota-kota dibagi menurut jenis angkutannya berupa angkutan individu dan angkutan massal, memiliki ciri operasi angkutan umum:
• Kota Kecil: Angkutan Massal terdiri dari Angkutan Kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek.
• Kota Menengah: Angkutan Massal, terdiri dari Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan kota (Angkot) dan bus sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek
• Kota Besar: Angkutan Massal, terdiri dari Sistem Transit, Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek
• Kota Metropolitan: Angkutan Massal, terdiri dari Mass Rapid Transit (MRT), Bus Besar, Bus Sedang, Angkutan Kota (Angkot) dan Bus Sedang, Angkutan Individu: becak dan ojek.
Tipologi angkutan umum dikelompokkan berdasarkan atas kelompok angkutan massal dan angkutan individual (Gambar 1).
Proses evolusi angkutan umum dimulai dari pelayanan tradisional berbasis paratransit, yang saat ini masih menjadi tulang punggung transportasi perkotaan di kota-kota menengah dan kecil di Indonesia. Dengan tumbuhnya permintaan perjalanan menjadi mayoritas bagi pengguna transportasi, terbentuk angkutan massal berbasis jalan dengan tingkat pelayanan kecepatan rendah dan kenyamanan rendah. Reformasi transportasi dengan sistem transit pada koridor backbone, dengan tetap dengan dukungan angkutan bus (bus besar, bus sedang dan angkot) sebagai feeder. Dengan perbaikan yang terus berlanjut, kota-kota akan memiliki Mass Rapid Transit (MRT) berbasis angkutan bus pada backbone, dengan tetap menerapkan sistem transit pada beberapa koridor dan dukungan sistem bus (Gambar 2).
Proses pemilihan moda angkutan umum dilakukan dengan menempatkan moda sesuai dengan kapasitas angkut dan kecepatannya. Kota dengan kapasitas kebutuhan perjalanan 1.000 penumpang/jam/arah dilayani dengan paratransit, dan selanjutnya seiring dengan perkembangan kebutuhan kapasitas pelayanan akan meningkat menjadi angkutan bus, sistem transit dan BRT (Gambar 3).
Proses evolusi angkutan umum:
Tahap-1: tahap dimana dilakukan penyediaan angkutan umum sebagai salah satu sarana alternatif penyediaan.
Tahap-2: kondisi dimana angkutan umum merupakan moda mayoritas yang dipilih.
Tahap-3: mass transit berbasis jalan
Tahap-4: reformasi angkutan umum berbasis jalan, dengan penataan manajemen yang baik, memunculkan sistem transit.
Tahap-5: koridor jalan berkembang, sistem transit diperbaiki dengan BRT
Tahap-6: perkembangan demand semakin baik, ditingkatkan dengan MRT berbasis kereta api (subway atau elevated).
3. Evolusi Angkutan Individu
Angkutan individu terdiri dari ojek, taksi dan becak. Secara umum ketiga jenis moda tersebut terdapat di seluruh kota di Indonesia, hanya khusus taksi tidak semua kota tersedia. Dilihat dari parameter jarak, kecepatan, sifat pelayanan (door-to-door), tarif dan keselamatan, ketiga moda dibandingkan secara kualitatif, kinerja ojek memiliki keuntungan dari aspek kecepatan dan ketersediaannya (door-to-door). Saat ini di hampir semua wilayah perkotaan, telah dilayani oleh ojek. Ojek menjadi masalah karena tidak memiliki legalitas dalam UU 22/2009 tentang LLAJ namun demikian kebutuhan masyarakat akan pergerakan yang cepat, door-to-door dan melayani jalan yang sempit memaksa pengguna jalan menggunakan ojek.
Target kedepan: peran taksi akan ditingkatkan hingga menjadi moda utama angkutan individu di pusat kota dan wilayah perkotaan, khususnya kota metropolitan, kota besar dan kota menengah. Peran ojek akan dibatasi pada wilayah dimana kebutuhan moda transportasi belum terlayani, khususnya pada jalan-jalan sempit (rat-run) kawasan perkotaan, tidak melayani trayek angkutan umum lingkungan (ang-ling), angkutan bus, sistem transit dan BRT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar