Senin, 02 Mei 2011

Manajemen Permintaan Transportasi (TDM)

Kondisi Eksisting dan Permasalahan



Kemacetan telah menimbulkan akibat serius, karena terjadinya pemborosan akibat inefisiensi pemakaian bahan bakar, waktu hilang terbuang, polusi dan stres, serta merugikan kesehatan penduduk. Kerugian akibat kemacetan lalu-lintas di Jakarta diperkirakan mencapai Rp. 9 triliun per tahun, bahkan secara total kerugian pada seluruh kota metropolitan dan kota besar besarnya sama dengan hutang negara ke Bank Dunia.

Pemecahan masalah kemacetan menurut pengalaman kota-kota di dunia, dapat dilakukan dengan melakukan Manajemen Permintaan Transportasi atau Transportation Demand Management (TDM). Kunci TDM adalah keseimbangan antara efek “push”, menekan pertumbuhan penggunaan dan kepemilikan kendaraan pribadi serta efek “pull” mendorong penggunaan angkutan umum massal. TDM dikembangkan dalam bentuk “city wide” yang berorientasi pada peran institusi kota dan TDM “organisational” yang berorientasi pada kemampuan satu peruntukan dalam mengendalikan lalu-lintas, seperti kampus, pertokoan, dll.

Sejauh ini di Indonesia sudah mempunyai beberapa penerapan TDM namun masih belum seimbang, masih menekankan pada efek “pull” namun sangat lemah dalam memberikan tekanan pada efek “push” (GTZ-SUTIP, Discussion Paper TDM, 2010). Pengembangan BRT Jakarta, sistem transit di 13 kota, integrasi tiket BRT-KA, pengembangan lajur sepeda, perbaikan fasilitas pejalan kaki, bus sekolah, bus jemputan karyawan, bahan bakar gas untuk BRT, taksi, dan angkutan umum, adalah sebagian upaya “pull” yang telah diterapkan. Namun upaya “push” masih terbatas pada “3 in 1” di Jakarta, manajemen parkir (masih parsial) dan “car free day” di beberapa kota. Karena ketidakseimbangan tersebut, maka peran TDM belum banyak menjawab masalah kemacetan di Indonesia.


- Strategi/ Solusi Permasalahan
a. Prinsip Strategi/ Key factor


Prinsip TDM adalah melakukan “push” terhadap kendaraan pribadi (termasuk sepeda motor) dan pada saat bersamaan melakukan “pull” terhadap upaya pengembangan sistem angkutan umum. Memindahkan penggunaan kendaraan pribadi menjadi penggunaan angkutan umum (shift) dapat dilakukan dengan melalui beberapa alternatif yaitu :
 Pergeseran waktu
 Pergeseran rute
 Pergeseran moda
 Pergeseran lokasi
Terdapat 4 jenis strategi dalam TDM dalam sistem “Pull dan Push”, yaitu :
1. Kebijakan / peraturan / pengukuran ekonomi
2. Fisik / rencana tindakan teknis
3. Perencanaan dan pengujian design
4. Tindakan pengendalian, seperti pengontrolan dampak transportasi, pengembangan sistem transportasi cerdas, “road pricing” yang merupakan sistem penetapan harga untuk pemakaian jalan, manajemen parkir juga termasuk ke dalam strategi TDM

b. Tahapan/ Strategi

Ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan sebagai solusi permasalahan dari sistem manajemen transportasi yang ada, yang mana strategi tersebut berupa kebijakan-kebijakan sebgai berikut :

Kebijakan 1 – “Push” dan “Pull”
Untuk mencapai efektifitas dan manfaat yang maksimal, strategi TDM yang komprehensif sangat diperlukan,seperti strategi dalam hal insentif positif (pull), seperti meningkatkan pilihan perjalanan, dan insentif negative (push) seperti mengatur biaya jalan dan biaya parker.



Ketika insentif “pull” diimplementasikan , seperti perbaikan terhadap kondisi fasilitas untuk pedestrian dan pesepeda, serta perbaikan terhadap kualitas layanan angkutan umum, maka akan semakin mengefektifkan jumlah pergantian/transfer moda perjalanan yang dilalui. Namun untuk pelaku perjalanan yang mempunyai pilihan perjalanan dengan semua moda, mungkin tidak akan peduli dengan implementasi angkutan umum ini, ketika mengemudi kendaraan pribadi masih dianggap lebih murah dan memiliki nilai waktu yang lebih efisien dibandingkan dengan angkutan umum, atau mungkin mereka akan melakukan perlawanan terhadap pembuat kebijakan.

Evaluasi SUTIP terhadap strategi TDM yang bersifat fisik (alternatif 2) di Indonesia sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1 menunjukkan tidak seimbangnya upaya “push” dan “pull” yang telah dikembangkan. Pembangunan fasilitas BRT, sistem transit, halte, bus dan alternatif bahan bakar merupakan berbagai upaya “pull” yang telah dilakukan, namun kegiatan yang bersifat “push” baru terbatas pada pembangunan fasilitas pejalan kaki dan speed trap.




Kebijakan 2 – Transportasi Terpadu dan Tata Guna Lahan
Keberagaman faktor dalam tata guna lahan berpengaruh terhadap perilaku pelaku perjalanan. Masyarakat yang tinggal atau bekerja di daerah padat, dengan berbagai macam aktivitas dan mobilitas, akan cenderung tidak menggunakan kendaraan pribadi dan lebih mengandalkan angkutan umum . Perkembangan kebijakan yang cerdas yang dapat lebih mengefektifkan akses perjalanan dengan menggunakan sistem multi moda bisa menjadi strategi yang efektif dalam pengaplikasian TDM.

Kebijakan 3 – Peningkatan Pelayanan Transportasi Umum
Sistem pelayanan transportasi umum yang terpadu merupakan salah satu ukuran dari TDM, yang mana tidak membutuhkan investasi modal yang besar, namun lebih membutuhkan perencanaan dan komunikasi antar operator yang lebih baik. Pelayanan transportasi yang terpadu, memudahkan para pelaku perjalanan untuk menemukan pilihan alternative moda yang lebih efektif untuk melakukan perjalanannya, karena dengan TDM sistem pelayanan disajikan lebih transparan dan menarik untuk para pengguna baru.

Kebijakan 4 – Manajemen Parkir
Manajemen parkir ini merupakan salah satu kebijakan TDM, sebagai prosesnya dalam peralihan ke angkutan umum dan menekan penggunaan kendaraan pribadi. Sebuah tempat parkir harus disediakan dengan syarat bahwa area tersebut tidak mengganggu kepentingan jalur transportasi yang lain, baik itu dalam bentuk suatu area atau penggunaan bahu jalan sebagai tempat parkir. Kota harus meminimalkan pemakaian ruang publik untuk digunakan sebagai lahan parkir, seperti menggunakan area umum seperti jalan dan trotoar untuk dipakai sebagai tempat parkir, sebaliknya harus menciptakan suatu area khusus untuk parkir, namun dalam pemakaiannya perlu dibebankan tarif terhadap pengguna.
Dengan adanya manajemen parkir ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi dan sistem perparkiran. Dalam penerapannya, diharapkan dapat menghasilkan suatu kondisi sebagai berikut :
- Adanya keseimbangan antara pemenuhuan besar kebutuhan parkir dengan kebijakan parkir itu sendiri (mencakup ketersediaan lahan parkir beserta tarif yang dibebankan), yang mana output dari kebijakan ini adalah dapat membatasi jumlah perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi
- Adanya kesinambungan antara kebijakan parkir dalam hal penekanan penggunaan dengan menggunakan kendaraan pribadi dengan target anggaran atau retribusi yang dihasilkan
- Terciptanya suatu kebijakan pembatasan perjalanan yang sesuai dengan kebijakan pembatasan parkir yang berlaku
- Semakin berkurangnya pelaksanaan parkir on street sehingga dapat mengurangi kemacetan dan dapat meningkatkan keefektifan serta nilai utilitas dari jalan.
- Kemudahan dalam mengatur parkir baik on-street maupun off street
- Semakin baiknya sistem informasi mengenai ketersediaan tempat parkir di suatu area tertentu, sehingga memudahkan demand parkir untuk mendapatkan tempat parkir yang sesuai
- Berkurangnya jumlah pungutan ilegal

Keberagaman standar fisik dan teknis dari sistem manajemen parkir, yang telah diimplementasikan di berbagai jenis kota di Indonesia, yang mencakup pengurangan persediaan lahan untuk parkir, maka akan mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi. Seperti adanya penerapan kebijakan manajemen parkir dalam area CBD dengan menggunakan sistem penyediaan area parkir secara maksimum, sementara di area lain dengan menggunakan sistem penyediaan area parkir seminimum mungkin maka, minimalisasi ini akan lebih membantu dalam mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota.

Adapun terdapat beberapa kebijakan TDM dalam manajemen parkir ini, yang mana ditinjau berdasarkan jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut:
- Kebijakan jangka pendek, yang terdiri dari :
a. Untuk menekan pelaku perjalanan commuter untuk menggunakan kendaraan pribadi ke tempat kerja
b. Menekan pemilik kendaraan untuk tidak menggunakan bahu jalan (on street parking ) sebagai tempat parkir untuk jangka waktu parkir yang lama
c. Pelarangan on street parking pada rute-rute tertentu dan pada waktu tertentu (seperti jalan arteri pada jam sibuk)
d. Pembatasan parkir untuk kendaraan besar
- Kebijakan jangka panjang, yang berupa kebijakan peraturan, yaitu :
a. Mengajak perusahaan swasta untuk bisa bekerjasama untuk menjalankan usahanya dibawah kebijakan pemerintah, untuk :
• Melakukan penyediaan tempat parkir dan memperkirakan kebituhan kapasitas parkir beserta demand parkir
• Menyediakan area parkir on street dengan dilengkapi dengan desain, marka jalan dan tanda parkir yang sesuai
• Menyediakan fasilitas area parkir off street
• Mengatur organisasi untuk mengontrol area parkir dengan kebijakan yang jelas dalam hal batas waktu parkir dan biaya parkir yang dibebankan


Kebijakan 5 – Kelestarian Lingkungan
TDM juga dapat dikatakan sebagai “acuan untuk mengurangi jumlah permintaan perjalanan, yang menyebabkan suatu dampak yang berdaya dukung sosial, lingkungan dan operasional” (Ohta Prayudyanto, 2010). Polusi, kebisingan dan pesangon ilegal yang diakibatkan oleh kemacetan lalu lintas, harus menjadi fokus utama dari TDM ini. Mengurangi emisi kendaraan dan meningkatkan ruang jalan kendaraan berkapasitas besar dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pengaturan “zona emisi rendah”.

Kebijakan 6 – Penetapan Tarif Penggunaan Jalan “Road Pricing”
Tahap perpindahan/transisi saat ini lebih mengarah kepada langkah2 moderat seperti penjualan ticketing untuk mobil atau sepeda motor yang akan masuk ke area CBD. Berhubungan dengan komitmen Indonesia yang tinggi untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan polutan-polutan penyebab polusi, disarankan untuk mengadakan sistem perizinan kendaraan untuk memasuki area CBD dengan kebijakan “ketaatan standar emisi”.
Semakin tinggi emisi yang dihasilkan oleh suatu kendaraan, maka semakin tinggi pula nilai perizinan (tiket) yang dibayar untuk masuk ke wilayah tersebut.
Investasi biaya ERP untuk sebuah kota metropolitan adalah sampai pada angka ratusan juta U$ yang mana dipotong dari anggaran yang disediakan untuk membiayai MRT dan moda transportasi umum lainnya. Namun, nilai investasi ini akan memiliki jangka waktu operasi yang relatif singkat

Kebijakan 7 – Kebijakan Institusional
Langkah aksi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan kebijakan TDM antara lain adalah:
• Kementerian Perhubungan menyusun Peraturan Menteri (Permen) tentang Pedoman TDM dan Petunjuk Penyelenggaraan TDM untuk Perkotaan di Indonesia.
• Pemerintah Daerah menetapkan Draft Kebijakan Perkotaan (City Policy Papers) mencakup strategi secara khusus bagi setiap kota-kota, sesuai Permen yang disusun pemerintah pusat.
• Kementerian Perhubungan melakukan pembinaan secaar efektif, realistis dan terarah kepada pemerintah daerah.
• Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan menyusun upaya Kebijakan/ Regulasi/ Tindakan yang bersifat ekonomi agar kota-kota dapat mudah melakukan akses TDM, baik yang bersifat regulatif, teknis maupun penegakan hukum.
• Kementerian Perhubungan memfasilitas daerah dalam bentuk dukungan subsidi bagi pembangunan fasilitas TDM yang berguna untuk meningkatkan perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum
• Kementerian Perhubungan memberikan reward bagi daerah yang berhasil menurunkan tingkat ketergantungan sistem transportasinya kepada kendaraan pribadi, mengurangi konsumsi bahan bakar dan mengurangi tingkat emisi kendaraan

Kebijakan 8 – Tahapan Implementasi TDM
Proses evolusi tahapan TDM dilakukan dalam 3 tahap yaitu: tahap-1 kondisi saat ini, tahap-2, kondisi tersinkronisasi dan tahap-3 kondisi pengembangan strategi TDM (Gambar E.4).



Tahap 1- Saat Ini
Kondisi saat ini dimana strategi “pull” dan “push” berjalan tidak saling memperkuat. Tahap ini dapat dilihat pada pengalaman kota Jakarta, dimana impelmentasi BRt tidak disertai dengan pembatasan kepemilikan atau penggunaan kendaraan pribadi secara efektif. Begitu juga sistem transit dikembangkan tanpa ada upaya penekanan kepada penggunaan kendaraan pribadi pada kota-kota didaerah.

Tahap 2- Sinkronisasi
Pada tahap ini berlangsung keterpaduan dan sinkronisasi antara upaya ”push” dan “pull’, sehingga efek TDM mulai dirasakan. Setiap upaya “pull” didukung dengan pembatasan peran kendaraan pribadi. Proses sinkronisasi berlangsung dalam 3 lingkup, yaitu:
a. Lingkup Institusional
b. Lingkup Finansial
c. Lingkup Operasional

Tahap 3- Pengembangan
Pada tahap ini berlangsung pengembangan startegi TDM sebagaimana dijelaskan dalam kebijakan-1. Upaya tersebut berjalan efektif karena telah terjadi sinkronisasi pada tahap sebelumnya. Upaya ini mencakup keseluruh 4 kelompok pemecahan, termasuk sudah berlangsungnya kesadaran publik akan transportasi yang berkelanjutan.
6.1.3 Rencana Aksi
Suatu rencana aksi yang dapat dilakukan sebagai bentuk dari pengaplikasian strategi TDM adalah sebagai berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar