Senin, 31 Januari 2011

8 - Peraturan dan Penegakan Peraturan

4.4.2 Paratransit- Angkot

Pertumbuhan jumlah angkot yang beroperasi di beberapa kota di Indonesia memberikan kontribusi yang cukup besar (disamping kendaraan pribadi) terhadap beban yang diterima oleh jalan yang berpengaruh pada peningkatan kemacetan lalu lintas, polusi udara dan polusi suara, emisi gas rumah kaca, dan ketidaktertiban tataruang publik yang menyebabkan para pejalan kaki dan pesepeda yang hampir tidak punya ruang untuk bergerak dan berpindah.

Prioritas 1 – Pengorganisasian

Kepemilikan angkot secara pribadi serta pengoperasian secara informal perlu dikurangi dan direorganisasi secara legal dibawah lisensi rute yang diatur oleh badan yang menyediakan jasa layanan rute tersebut. Badan pemilik jasa layanan tersebut perlu asisten manager untuk membantu pengaturan pelaksanaan manajemen angkutan umum, bahkan jika diperlukan perlu mempunyai asisten keuangan untuk lebih mempunyai perusahaan yang sejahtera dan sehat.




Prioritas 2 – Feeder

Angkot dianggap sebagai bagian integral dari komposisi kota, angkot-angkot ini bertindak sebagai pengumpan (feeder) untuk mengumpulkan penumpang dari daerah-daerah untuk selanjutnya terhubung dengan layanan bus/BRT/MRT.

Prioritas 3 – Terpisah “Not Interfere”

Angkot mempunyai rute khusus di mana mereka tidak saling mengganggu atau bersaing dengan rute bus/BRT/MRT atau rute sesama angkot itu sendiri.


Prioritas 4 – “Franchising”

Badan pemilik jasa layanan angkot berwenang untuk mendesain rute sekunder dan menawarkan lisensi terhadap operator-operator angkot untuk menjalankan operasi di rute tersebut. Sebagai persyaratan, operator harus diorganisir sebagai salah satu bagian dari perusahaan dengan struktur manajemen yang aktif dan efektif. Operator yang dianggap memenuhi syarat akan mendapat izin lisensi untuk mengoperasikan angkotnya pada rute yang telah ditetapkan. Criteria penyeleksian ini adalah dalam hal kualitas manajemen pengoperasian dan kondisi armada yang dimiliki, termasuk kinerja dan nilai tariff yang ditawarkan.

Prioritas 5 – Standar Kualitas Pelayanan
a. Kualitas pelayanan dari sistem opengoperasian angkot, harus mencakup 6 hal sebagai berikut :
- Frekuensi bus (headway)
- Tingkat keterisian penumpang pada jam sibuk (occupancy)
- Keselamatan (tingkat kecelakaan)
- Informasi (ketepatan jadwal)
- Keterpaduan (keterpaduan layanan dengan BRT dan MRT)
- Ketersediaan (waktu ketersediaan moda)
b. Audit secara rutin (6 bulan sekali)
c. Adanya sanksi untuk pengoperasian yang tidak sesuai peraturan


Prioritas 6 – Tarif

Tarif angkot ditetapkan sesuai dengan skala tariff yang ditentukan oleh Badan Otoritas Angkutan Umum, sedangkan perusahaan bus dapat mengajukan sendiri permohonan untuk kenaikan tariff bus namun tetap perlu adanya persetujuan dari Badan Otoritas Angkutan Umum tersebut. Untuk rute pergerakan perjalanan utama di daerah perkotaan, akan dilayani oleh angkutan bus formal.
Peraturan yang ditetapkan pada pengoperasian angkot ini terdiri dari :
- Tidak menyediakan pelayanan transfer antar angkot (Non-transferable), lisensi rute terbatas
- Rute eksklusif, terpisah dari rute bus
- Ketetapan untuk hanya berhenti di tempat-tempat pemberhentian khusus yang telah disediakan
- Ketetapan untuk mengeluarkan tiket secara resmi
- Kualitas kendaraan yang masih dalam kondisi baik
- Inspeksi/pemantauan kelayakan kualitas kendaraan yang ketat
Sektor angkot ini telah terbukti sebagai sektor angkutan umum yang paling sulit untuk diatur dan dikelola secara tertib, yang mana sejauh ini sistem kepemilikan dan pengoperasian angkot secara individu lebih menarik dan dirasa lebih menguntungkan, serta didukung dengan kebijakan dan penegakan hokum yang kurang tegas dan jelas.


Prioritas 7 – Dampak Sosial

Implikasi sosial dapat dikatakan sebagai transisi dari kondisi pengoperasian saat ini menuju kondisi yang tertata dan teratur. Tujuannya adalah untuk menyediakan siste pengoperasian angkutan umum yang insntif untuk terlibat dalam sistem operasi legal di bawah lisensi rute yang jelas. Dalam hal ini perlu adanya pertanggung jawaban dalam sistem pelayanan yang ditawarkan, seperti ( kapasitas minimum dari angkot dan frekuensi pelayanannya), tetapi tetap menjamin tingkat keuntungan yang sesuai dan meadai untuk kurun waktu 3 tahun ke depan.

Angkot biasanya akan menikmati hak eksklusif untuk mengoperasikan rute tertentu selama periode dimana ada perlindungan dan jaminan jika terdapat adanya persaingan yang tidak terkendali. Kapasitas yang bergantung dengan jumah demand yang ada dan angkot yang diberi hak untuk mengatur pengumpulan tariff, akan membuka perspektif ekonomi dan operasional pada sistem kebijakan.

Di sisi lain, tekanan mungkin akan berada pada strategi substansial untuk mengurangi jumlah angkot dalam mendukung peralihan sistem transportasi ke angkutan umum yang lebih besar dan formal yaitu bus. Sesuai dengan pertumbuhan jumlah sumberdaya manusia muda potensial yang cukup besar, maka banyak dari mereka bisa diserap ketika kebutuhan untuk operasional sistem bus dibutuhkan.


Prioritas 8 - Perubahan Menjadi Angkutan Umum Formal dan Berlisensi

Akibat adanya sistem pengurangan terhadap pengoperasian angkot dan moda angkutan umum illegal lainnya, maka dalam rangka untuk meminimalisir dampak negative pada operatornya, maka perlu dipahami beberapa hal sebagai berikut :
- Memahami sepenuhnya kepentingan dari berbagai pihak, baik itu legal dan illegal.
- Membangun issu politik yang dapat membantu mengatasi masalah seperti dalam hal kontrol pada transportasi public yang harus transparan melalui sistem kontrak untuk mendapatkan hak beroperasi dan berusaha untuk mengurangi adanya kesempatan untuk melakukan pengoperasian illegal
- Adanya penyebarluasan issue melalui media dan debat public yang dapat diprakarsai oleh lembaga-lembaga yang terkait, seperti BSTP/Departemen Perhubungan
- Menciptakan insentif untuk mengurangi jumlah angkot


Priority – 9 Environtmennt Impact

Selama proses transisi perpindaha moda berlangsung, kendaraan angkot yang sudah tua dapat mendapatkan penggantian mesin baru yang lebih ramah lingkunga, dimana mesin diesel atau pun yang menggunakan bensin lebih menguntungkan jika menggunakan CNG atau LPG, tetapi untuk mini bus yang mempunyai jangka operasi yang panjang untuk pasar, maka kota yang bersangkutan akan mendukung dan memberikan insentif untuk beroperasi.

Strategi yang diharapkan dapat berhasil untuk mengurangi jumlah pengoperasian angkot di koridor utama kota, terdiri dari manajemen lalu lintas kota sebagai berikut :
- Adanya zona khusus bebas angkot “zona bebas angkot” – area yang dibatasi oleh rambu-rambu jalan dimana tidak boleh ada angkot yang diperbolehkan untuk pengangkutan penumpang, baik setiap waktu atau hanya waktu-waktu tertentu
- Adanya “zona bebas parkir angkot” – area dimana sepanjang jalan tersebut angkot dilarang untuk berhenti baik itu untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, baik setiap waktu atau hanya pada waktu-waktu tertentu.
- Adanya “zona berhenti khusus angkot” – auatu area dimana angkot diperbolehkan berhenti baik untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, namun pemberhentiannya telah ditetapkan (halte)
Setiap alat yang digunakan sebagai acuan manajemen lalu lintas, perundang-undangan atau peraturan yang ada harus ketat untuk mendapatkan fokus dan perhatian yang lebih besar, sehingga lebih tertata dan teratur dalam pengaplikasiannya.

Undang-undang transportasi No.22/2009 memberikan penjelasan untuk bagian-bagian tersebut, seperti :
- Halte/ tempat pemberhentian penumpang (Art 143)
- Rute operasi angkutan umum (Art 158)
- Sistem pembayaran tariff (Art167)

Undang-undang Nasional, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah hanya berarti jika pkebijakannya dapat diimplementasikan dan ditegakkan. Hal yang paling penting adalah semua pihak bertanggung jawab dalam implementasi dan penerapan dari kebijakan dan undang-undang yang telah dibuat dengan mematuhi peraturan dengan menunjukan transparansi hokum, menjaga implementasi sesuai dengan porsi kebijakan yang telah diatur, serta proses penegakannya yang tetap konsisten. Setiap adanya ketidaksesuaian dan penyimpangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan, maka akan berpengaruh terhadap kepercayaan wwenang dalam kepemimpinan.

6-1 Manajemen Permintaan Transportasi -TDM

Manajemen permintaan transportasi (TDM) ini mempunyai strategi tujuan untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi (termasuk di dalamnya mobil pribadi dan motor pribadi) untuk beralih ke moda perjalanan yang berkapasitas lebih besar, seperti kapasitas yang disediakan oleh moda transportasi umum. TDM juga menyeimbangankan kebutuhan permintaan penumpang dalam hal rute perjalanan dan waktu perjalanan, sehingga layanan operasional yang disajikan efektif dan efisien.

Manajemen permintaan transportasi adalah salah satu alat dasar yang berpengaruh dan dijadikan landasan dalam perencanaan sistem transportasi perkotaan yang fungsional dan efektif, seperti pada negara-negara industri. TDM juga cocok untuk diimplementasikan di negara-negara berkembang, karena dapat mengurangi kemacetan akibat dari penggunaan kendaraan pribadi yang dialihkan ke transportasi umum, sehingga dapat lebih mengefisiensikan biaya perawatan kendaraan dan bahan bakar.

Kebijakan 1 – “Push” dan “Pull”
Untuk mencapai efektifitas dan manfaat yang maksimal, strategi TDM yang komprehensif sangat diperlukan, baik itu dalam hal insentif positif (pull), seperti meningkatkan pilihan perjalanan, dan insentif negative (push) seperti mengatur biaya jalan dan biaya parkir.

Ketika insentif “pull” diimplementasikan , seperti perbaikan terhadap kondisi fasilitas untuk pedestrian dan pesepeda, serta perbaikan terhadap kualitas layanan angkutan umum, maka akan semakin mengefektifkan jumlah pergantian/transfer moda perjalanan yang dilalui. Namun untuk pelaku perjalanan yang mempunyai pilihan perjalanan dengan semua moda, mungkin tidak akan peduli dengan implementasi angkutan umum ini, ketika mengemudi kendaraan pribadi masih dianggap lebih murah dan memiliki nilai waktu yang lebih efisien dibandingkan dengan angkutan umum, atau mungkin mereka akan melakukan perlawanan terhadap pembuat kebijakan.

Terdapat 4 jenis strategi dalam TDM, yaitu :
- Kebijakan / peraturan / pengukuran ekonomi
- Fisik / rencana tindakan teknis
- Perencanaan dan pengujian design
- Tindakan pengendalian, seperti pengontrolan dampak transportasi, pengembangan sistem transportasi cerdas, “road pricing” yang merupakan sistem penetapan harga untuk pemakaian jalan, manajemen parkir juga termasuk ke dalam strategi TDM,

Adapun strategi TDM di atas, dapat dijabarkan pada gambar di bawah ini :




Kebijakan 2 – Transportasi Terpadu dan Tata Guna Lahan

Sistem pelayanan transportasi umum yang terpadu merupakan salah satu ukuran dari TDM, yang mana tidak membutuhkan investasi modal yang besar, namun lebih membutuhkan perencanaan dan komunikasi antar operator yang lebih baik. Pelayanan transportasi yang terpadu, memudahkan para pelaku perjalanan untuk menemukan pilihan alternative moda yang lebih efektif untuk melakukan perjalanannya, karena dengan TDM sistem pelayanan disajikan lebih transparan dan menarik untuk para pengguna baru.

Kebijakan 3 – Peningkatan Pelayanan Transportasi Umum

Sistem pelayanan transportasi umum yang terpadu merupakan salah satu ukuran dari TDM, yang mana tidak membutuhkan investasi modal yang besar, namun lebih membutuhkan perencanaan dan komunikasi antar operator yang lebih baik. Pelayanan transportasi yang terpadu, memudahkan para pelaku perjalanan untuk menemukan pilihan alternative moda yang lebih efektif untuk melakukan perjalanannya, karena dengan TDM sistem pelayanan disajikan lebih transparan dan menarik untuk para pengguna baru.

Kebijakan 4 – Penetapan tarif Parkir “Push”

Keberagaman standar fisik dan teknis dari sistem manajemen parkir, yang telah diimplementasikan di berbagai jenis kota di Indonesia, yang mencakup pengurangan persediaan lahan untuk parkir, maka akan mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi. Seperti adanya penerapan kebijakan manajemen parkir dalam area CBD dengan menggunakan sistem penyediaan area parkir secara maksimum, sementara di area lain dengan menggunakan sistem penyediaan area parkir seminimum mungkin maka, minimalisasi ini akan lebih membantu dalam mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota.

Kebijakan 5 – Kelestarian Lingkungan

TDM juga dapat dikatakan sebagai “acuan untuk mengurangi jumlah permintaan perjalanan, yang menyebabkan gerakan di bawah daya dukung sosial, lingkungan dan operasional” (Ohta Prayudyanto, 2010). Polusi, kebisingan dan pesangon illegal yang diakibatkan oleh kemacetan lalu lintas, harus menjadi fokus utama dari TDM ini. Mengurangi emisi kendaraan dan meningkatkan ruang jalan kendaraan berkapasitas besar dapat dilakukn dengan menggunakan sistem pengaturan “zona emisi rendah”.


Dalam skema gambar visi TDM tersebut, maka dapat membantu dalam mengelola proses transisi, yaitu proses dimana menarik penumpang untuk menggunakan moda transportasi umum yang lebih baik dan menggunakan fasilitas berjalan kaki atau besepeda disertai dengan mendorong pelaku perjalanan untuk tidak mengemudi dengan menggunakan kendaraan pribadi. Namun, dorongan ini juga disesuaikan dengan kapasitas penggunaan dari pelaku perjalanan masing-masing.

Kebijakan 6 – Penetapan Tarif Penggunaan Jalan “Road Pricing”

Tahap perpindahan/transisi saat ini lebih mengarah kepada langkah2 moderat seperti penjualan ticketing untuk mobil atau sepeda motor yang akan masuk ke area CBD. Berhubungan dengan komitmen Indonesia yang tinggi untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan polutan-polutan penyebab polusi, disarankan untuk mengadakan sistem perizinan kendaraan untuk memasuki area CBD dengan kebijakan “ketaatan standar emisi”.
Semakin tinggi emisi yang dihasilkan oleh suatu kendaraan, maka semakin tinggi pula nilai perizinan (tiket) yang dibayar untuk masuk ke wilayah tersebut.
Investasi biaya ERP untuk sebuah kota metropolitan adalah sampai pada angka ratusan juta U$ yang mana dipotong dari anggaran yang disediakan untuk membiayai MRT dan moda transportasi umum lainnya. Namun, nilai investasi ini akan memiliki jangka waktu operasi yang relatif singkat.

Kebijakan 7 – Kerangka Institusional

Pada tingkat kelembagaan atau institusi, pengaplikasikan TDM diharapkan dapat menjanjikan tingkat keberhasilan yang tinggi dalam pengoperasian sistem transportasi, karena disinin lembaga dan institusi tersebut dijadikan sebagai bangkitan permintaan perjalanan, yang mana hambatan-hambatan utama dalam proses pelaksanaannya pun perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Kelembagaan TDM dikelola oleh masing-masing lembaga dan instansi yang terkait Meskipun dampak yang dihasilkan dari masing-masing kebijakan lembaga relatif kecil, namun pada dasarnya itu bisa menjadi kontribusi yang signifikan jika kebijakan kota diimplementasikan secara terstruktur dan terorganisir dengan baik..

Kelembagaan dan institusi yang berpengaruh dalam TDM, adalah sebagai berikut :
- Pusat perkantoran dan perindustrian (perusahaan, pabrik, dll)
- Pusat perbelanjaan dan hiburan (mall, bioskop, dll)
- Pusat pendidikan (universitas dan sekolah, dl)
- Area perumahan

Bentuk tindakan TDM yang dihasilkan, dapat berupa :
- konsep manajemen pembagian moda (moda split)
- tiket perjalanan khusus pekerja (disediakan oleh atasan)
- tiket perjalana semester (disediakan oleh sekolah dan universitas)
- tariff parkir yang tinggi
- fasilitas sepeda yang disediakan sebagai feedet untuk sampai ke tujuan.

10.1.1 Perencanaan penggunaan lahan

Langkah pertama untuk suatu kebijakan nasional adalah sosialisasi di antara semua departemen desentralisasi pusat serta memungkinkan ruang yang cukup untuk penyesuaian, perubahan dan penyempurnaan.

Suatu kebijakan nasional yang lebih matang sehingga bersama dengan kelompok pemangku kepentingan yang lebih luas, yang terdiri dari sektor swasta dan masyarakat sipil. Kampanye media dan dengar pendapat publik dianggap sarana penting untuk perbaikan tambahan dan penyesuaian yang antara lain berasal dari situasi tertentu di kota tertentu. Umpan balik penyebaran dan umum kebijakan nasional merupakan langkah penting untuk mendapatkan penerimaan nasional, tanpa yang pelaksanaannya tidak bisa diwujudkan.

Dari saat kebijakan menjadi matang dan diterima secara luas, kota rencana transportasi khusus ditetapkan sesuai dengan kebijakan tersebut.
Sejalan dengan proses perencanaan, nasional - termasuk "standar pelayanan minimal" - dan peraturan lokal yang spesifik, yang didasarkan pada peraturan nasional umum, yang akan dikompilasi.

langkah-langkah Interim dan kegiatan awal akan berkonsentrasi pada peningkatan kuantitas dan kualitas sistem transportasi umum yang ada:
• The perpanjangan koridor BRT, dari jalur bus feeder dan penyesuaian garis mikro-bus menciptakan sistem jaringan mulus terpadu berdasarkan peraturan yang jelas dan integrasi masa depan jaringan angkutan massal.
• Meningkatkan waktu antara bus
• Meningkatkan kenyamanan bus oleh sebahagian menyediakan pelatih ber-AC, tempat duduk yang nyaman dan tempat penampungan iklim suara
• Menyediakan akses pejalan kaki yang aman, teduh, banjir-bukti dan luas berjalan ke tempat penampungan bus

Selama fase awal satu tahun, sementara kebijakan tersebut disebarluaskan, penyesuaian dan concretizations untuk konteks kota masing-masing dibuat, yang mengarah ke rencana transportasi menguasai kota ', yang akan memerlukan satu tahun untuk penyelesaian.

Sebagai konsep dasar dan tujuan jangka panjang utama bagi setiap kota akan telah set-up selama fase awal, perbaikan transportasi publik yang sedang berlangsung dengan konsentrasi mereka di bus transit cepat dan sistem feeder terkait akan terus mendapatkan dikuatkan, namun dengan penekanan tumbuh pada penyelarasan langkah-langkah ini dengan sistem yang lengkap untuk datang.

pemerintah Kota sebagai otoritas otonom menentukan batas kota batin mereka sesuai yang sesuai. Mereka mungkin memulai dengan single non-bermotor-jalan, menambahkan ini sampai berturut-turut menjadi kawasan kota dan kemudian menjadi sebuah distrik pusat bisnis yang lebih besar.

Salah satu komponen utama untuk mobilitas masa depan kota di Indonesia yang kembali dari ruang publik, termasuk ruang jalan, dengan fasilitas pejalan kaki berjalan ramah, proses yang akan dimulai dari saat awal. skema pendanaan yang besar diperlukan di sana dan rencana mobilisasi intens untuk alokasi dukungan keuangan yang dibutuhkan akan harus mendapatkan dialamatkan dari fase awal dan seterusnya.

skema Pedestrianization mengambil perkembangan masa depan mengambil-alih jalan kendaraan pribadi diduduki ke account dan perencanaan mereka dan realisasi selama tahap transisi harus mengambil perspektif ini diperhitungkan untuk mencegah dari pemborosan investasi.

Fase transisi dari dekat sekarang-tahap kemacetan-di beberapa kota di Indonesia melalui mobilitas membayangkan kota baru akan berlangsung hingga 25 tahun, di mana beberapa media atau kota berukuran lebih kecil memiliki kesempatan untuk mencapai hal ini sebelumnya.

Persaingan kota di Indonesia dalam mencapai tujuan ini akan didukung dan ditingkatkan oleh insentif. Ucapan Terima Kasih dan hadiah yang terhubung ke indikator pencapaian akan menambahkan dana ke anggaran kota ', sebagian besar yang perlu mendapatkan dialokasikan untuk langkah awal.

9 Keuangan

Pendanaan pada transportasi perkotaan tergantung pada dana dari beberapa sumber dan melibatkan berbagai mitra baik dari badan dalam negeri maupun swasta, individu maupun kolektif.

Di setiap kota di Indonesia, kerangka pennaan perlu ditetapkan, dimana pihak-pihak yang terlibat secara umum terbagi ke dalam 3 kategori besar, yang mana pihak-pihak ini akan berbeda jenis dan akan berpartisipasi dengan cara tertentu, adapun kategori pihak-pihak tersebut adalah :

Otoritas Publik adalah salah satu pihak utama yang terlibat dalam pendanaan transportasi perkotaan, yang mana cakupan pendanaannya adalah di bidang infrastruktur, sistem operasional melalui pembayaran subsidi secara langsung atau sistem operasional melalui sistem suatu perusahaan yang berdiri sendiri.

Adapun sumber pendanaan untuk anggaran transportasi adalah :

- Anggaran umum yang biasanya didapatkan melalui sistem perpajakan (pajak bahan bakar, pajak kepemilikan kendaraan, pajak parkir, pajak jalan, kemacetan, beban emisi, pajak penghasilan baik swasta maupun negeri)
- Pinjaman dari bank atau lembaga penyumbang
- Sumbangan dari lembaga internasional atau dana bantuan bilateral


Ibu kota, provinsi, dan otoritas daerah tingkat lokal secara simultan mempunyai campur tangan yang besar dan merupakan pihak-pihak yang berperan dan berpengaruh terhadap sistem transportasi perkotaan, mulai dari perencanaan, peraturan dan pendanaan. Transportasi rel di perkotaan cenderung dikelola secara terpusat, sementara pengopersian bus-bus dapat dikelola di sub daerah, seperti kotamadya atau kabupaten.

Pendanaan sering disalurkan ke dalam moda transportasi yang lebih bertarget dan beroperasi secara terstruktur daripada sistem transportasi disediakan di wilayah teritorial karena kurangnya koordinasi antara berbagai otoritas publik.

Kurangnya koordinasi yang baik antar lembaga menyebabkan sistem yang kurang terstruktur, sehingg perlu adanya otoritas di setiap tingkat daerah, sehingga mempunyai koordinasi struktur yang lebih sempit dan dapat terkoordinasi dengan baik untuk tiap bagiannya. Otoritas transportasi akan sangat diperlukan terutama ketika sistem transportasi komuter mulai diterapkan di daerah luar kota.

Ketika otoritas sistem transportasi sudah terbentuk, maka pendanaan nya dapat disalurkan ke dalam sistem transportasi yang telah dirancang. Penerima manfaat sistem transportasi secara angsung adalah pengguna angkutan umum yang juga berkontribusi secra langsung dalam pembiayaan sistem nya dengan cara membayar tariff perjalanan.


Penerima manfaat adalah mereka para pengguna sistem transportasi publik yang memeberikan kontribusi dana dengan membeli tiket .

Pengguna kendaraan pribadi mendapatkan manfaat sistem transportasi dari pelayanan eksklusif yang ditawarkan dari kendaraan peribadi, seperti kenyamanan, yang mana dibebankan melalui pembayaran infrastruktur yang mahal. Pengendara kendaraan pribadi harus mengikuti aturan pembiayaan sebagai pengguna jalan seperti pembaaran untuk road pricing seperti biaya masuk tol, biaya kemacetan biaya parkir.. Selain memberikan dana untuk investasi angkutan umum, disini juga diharpkan adanya tindakan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan dipindahkan pada penggunaan angkutan umum perkotaaan.

Penggunaan moda kendaraan tidak bermotor seperti sepeda, memberikan pendanaan manfaat transportasinya melalui biaya sewa keamanan.

Dalam kasus angkutan umum, pendapatan dikumpulkan secara langsung disalurkan ke operasional moda transportasi, bahkan ketika pendapatan tersebut didistribusikan untuk menyamaratakan pendapatan. Dalam hal pendapatan yang berasal dari tol dan pajak yang dikenakan pada pengguna kendaraan pribadi, alokasi dana dapat disalurkan hanya jika pendapatan telah seusuai dengan target, yang mana kondisi tersebut tidak selalu terjadi, karena undang-undang tersebut belum memungkinkan adanya sistem pra-alokasi sumber daya. Oleh karena itu dianggap bahwa alokasi dana dialokasikan untuk moda transportasi umum perkotaan.


Indirect beneficiaries adalah individu atau badan yang mendapatkan keuntungan dari adanya sistem transportasi tanpa harus menjadi penggguna sistem transportasi secara langsung, yang mana dapat dicontohkan sebagai berikut :

- Karyawan perusahaan yang menggunakan sistem transportasi yang disediakan oleh perusahaan yang mana sistemnya tidak perlu membayar akarena sudah mencakup pada gaji karyawan (biaya transportasi karyawan) yang mana hal ini member keuntungan secara financial dari kehadiran sistem transportasi perusahaan dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembiayaan investasi dan operasi sistem melalui pajak gaji
- Aktivitas bisnis (kegiatan usaha), seperti pusat perbelanjaan, perusahaan-perusahaan, yang mana mendapatkan manfaat kemudahan dalam akses pemenuhan mobilitas perusahaannya, kemudahan akses ini diapatkan dari adanya inrastruktur dan sistem transportasi.
- Pedagang dan warga setempat yang melihat nilai dari tanah dan lahan mereka dengan cara membangunsarana transportasi.


Mengembalikan sebagian dari keuntungan untuk menambah pembiayaan pendanaan sistem transportasi dapat menjadi metode inovatifyang telah diterapkan di beberapa kota. Dalam beberapa keadaan mungkin terjadi sebaliknya. Suatu sarana yang berlokasi di rute moda transportasi umum namun jauh dari stasiun, mungkin akan kehilangan nilai manfaat sistem, karena ketidaknyamanan pencapaian mobilitas yang ditawarkan.

Selain itu, peningkatan sistem transportasi umum akan membawa manfaat bagi semua warga kota akibat dari adanya penurunan jumlah pemakaian jumlah kendaraan pribadi, yang member dampaik positif seperti mengurangi kemacetan, polusi, kebisingan, dan lain lain)
Di setiap benua di berbagai belahan dunia, otoritas public merupakan contributor utama dalam pembiayaan moda transportasi kota baik itu dalam hal investasi moda ataupun dalam hal sistem operasinya. Dalam penyediaan moda transportasi yang merupakan bagian dari kewajiban otoritas public, maka dibutuhkan pendanaan untuk hal ini.

Namun, pihak-pihak yang terkait tersebut dan bentuk dari pendanaannya berubah secara signifikan, khususnya setelah diterbitkannhya kebijakan desentralisasi yang telah membentuk pihak-pihak terkait baru di tingkat regional dan lokal. Dalam penambahan investor swatsta ini, maka kemungkinan pengorganisasian pembiayaan sistem transportasi akan lebih detail dan terorganisir dan juga berpengaruh pada inovasi teknologi dan profesionalisme operasi akan meningkat pesat.
Kewenangan untuk mengatur dan mendanai operasi moda transportasi perkotaan yang dialihkan ke pemerintah daerah secara bertahap, menghaslkan pencampuran dana asal (pusat/provinsi/pemerintah daerah).

Namun, hal ini tidak selalu beroperasi sesuai dengan sumber daya keuangan yang ada, yang berarti bahwa kota dan wilayah metropolitan yang bersangkutan harus memperkenalkan cara baru dan kemitraannya untuk memenuhi peran mereka sesuai dengan fungsi masing-masing. Perlu adanya kepastian dalam membedakan antara dana investasi dan pendanaan dari operasi rutin seperti ini yang melibatkan mekanisme yang berbeda.

Ketika sistem transportasi perkotaan dibebankan untuk membuat kebijakan mobilitas, mengatur moda transportasi merencanakan investasi, serta pendanaan public maka akan menjad bagian dari sistem secara keseluruhan dan berencana untuk beralih ke mitra lainny, khususnya sector swasta. Dalam situasi seperti itu, berbagai tingkatan pihak yang berwenang dapat berkontribusi secara terkoordinasi dan memenuhi peran mereka masing-masing,tetapi masih tetap dalam bagian dari proyek bersama.

Mengurangi resiko moda transportasi yang beroperasi secara tumpang tindih, bertentangan satu sama lain atau bahkan bersaing satu sama lain, sehingga dapat mengurangi resiko terebut.
Ketika otoritas tidak memiliki tugas untuk mengelola moda transportasi perkotaan di tingkat daerah metropolitan, yang mana dalam hal ini dana publik dari sumber yang berbeda senderung mengkhususkan investasi dan moda transportasi yang berbeda pula.

- Sistem transportasi public dan infrastruktur jalan (fasilitas untuk jalan kaki, sepeda, bus dan moda jalan berbasis lainnya). Jika setiap kota mengelola wilayahnya sendiri, ini dapat menyebabkan kurangnya keterhubungan dalam sistem transportasi secara keseluruhan.
- Infrastruktur metropolitan yang melibatkan beberapa kota di wilayah metropolitan yang sama. Infrastruktur ini terdiri dari sistem rapid transit (BRT) dan trem, kereta serta kereta bawah tanah, yang dibiayai oleh daerah, federal atau pemerintah pusat yang bekerjasama dengan investasi sektor swasta (PPP).

Meskipun keseimbangan pada saldo operasi tercapa sesuai target, hal yang terjadi pada operator sistem trnsportasi baik itu publik ataupun swasta diusahakan untuk menemukan kesulitas keuangan mereka sendiri dan mengandalkan otoritas publik untuk menyelesaikan masalah keuangan mereka. Pihak-pihak tertentu dpat mencapai titik loba atau keuntungan, namun bagaimanapun juga mereka tetap harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan subsidi-silang dalam sistem transportasi.
Pengalaman menunjukan bahwa tariff angkutan merupakan hasil pertimbangan dalam hal untuk membiayai transportasi umum dan kemampuan pengguna untuk membayar. Tariff angkutan diatur oleh otoritas publik dan tidak selalu merefleksikan biaya sebenarnya, dan bervariasi berdasarkan pada kualitas layanan yang diberikan.
Otoritas publik akan membuat kontibusi pendanaan dalam beberapa cara, seperti :
- Dana kompensasi untuk alokasi tariff khusus untuk menegaskan kateori-kategori pengguna transportasi.
- Kompensasi kerugian pada akhir tahun. Dalam pengaplikasian subsidi tradisional, prusahaan tidak memiliki insentif untuk meningkatkan profitabilitas pembayaran/jasa mereka.
- Layanan pembayaran per jumlah erjalanan/trip atas dasr biaya operasional yang dinyatakan dan dilaporkan oleh perusahaan atau otoritas publik
Ketika biaya operasi dibentuk dibentuk oleh otoitas publik, perusahaan dapat termotivasi untuk meningkatan kinerja mereka dan mengurangi biaya operasional mereka melalui pemeliharaan preventif dan tindakan pelatihan staf (terutama driver), dll.
Untuk beberapa kasus otoritas publik dapat juga mengikat untuk pembayaran kompensasi atau kewajiban bersubsidi dalam hal produktifitas, pencegahan penipuan dan peningkatan kualitas layanan dengan menerapkan sanksi atau denda. Secara keseluruhan, terlepas dari metode yang dipilih, itu adalah demi kepentingan penguasa untuk memperkenalkan perjanjian layanan yang menetapkan hak dan kewajiban operator apakah mereka publik atau swasta.


Pinjaman adalah salah satu bentuk yang paling umum dari dana investasi yang digunakan oleh pemerintah daerah dan pusat. pemberi pinjaman, apakah publik atau swasta, nasional atau internasional, yang dalam pelaksanaannya akan memerlukan jaminan yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga publik (pemerintah pusat, bank komersial, dll) atau mekanisme lain seperti alokasi sebagian dari pendapatan harga untuk dana jaminan.

Bankir, lembaga donor internasional dan mitra keuangan tidak selalu mengadakan jenis atau bentuk transportasi umum dengan harga tinggi. hal ini dikarenakan mereka menggangap bahwa hal ini tidak akan mendatangkan keuntungan dan jga mereka menganggap hbahwa akan butuh subsidi yang besar untuk menciptakn sistem transportasi yang lebih. Kegiatan ini dinilai dari perspektif bisnis secara murni, sedangkan peran dalam ekonomi lokal tidak dianggap. Ini berarti bahwa dana yang dialokasikan oleh lembaga pendanaan internasional untuk moda transportasi perkotaan tidak terlalu diperhatikan jika dibandingkan dengan investasi yang dilakukan di sektor transportasi pada umumnya.

Namun, untuk saat ini tambapknya anggapan dan kebiasaan tersebut berubah, proyek-proyek transportasi perkotaan sekarang dipelajari oleh bank pembangunan nasional dalam kaitannya dengan dampak pada pembangunan ekonomi, kualitas kehidupan perkotaan dan perjuangannya dalam melawan perubahan iklim.


Bank multilateral dan bantuan bilateral membantu membiayai investasi publik dalam sistem transportasi, tetapi tidak masuk ke dalam fungsi sistemnya.


Kegiatan mereka dapat dideskripsikan dalam bentuk tindakan sebagai berikut :

Pinjaman Lunak yaitu kredit dimana kondsi persyaratannya lebih menguntungkan daripada pinjaman dari bank, dalam hal :durasi (pinjamanjangka panjang 15,20 bahkan sampai 30 tahun) suku bunga( bunga yang dibebankan lebih kecil dibandingkan bunga pinjaman di bank, dan masa tenggang sebelum pembayaran pertaman.


Grants sangat sering dibahas dalam kebutuhan pendanaan suatu penelitian atau untuk mendukung lembaga-lembaga untuk memperbaiki desian dan pengelolaan sistem transportasi. (Pertimbangan rencana induk transportasi, pembentukan kewenangan daerah, proyek kerjasama menasihati, pelatihan operator, dll.). Selain bantuan keuangan langsung, keterlibatan lembaga donor adalah untuk memberikan kredibilitas terhadap proyek dan juga dapat menarik dukungan dari lembaga keuangan lainnya, khususnya perbankan, dan juga memfasilitasi penggalangan dana.

Otoritas Publik Alokasi modal bersama dengan lembaga-lembaga lain, seperti dengan bank pembangunan nasional, atau wilayah lain adalah merupakan keuntungan yang akan member dampak pada bentuk keitraan publik-swasta, PPP, yang mungkin akan menarik modal swasta ke dalam proses sistem operasionalnya (dilakukan berdaarkan keamanan dan jaminan hukum) serta diberi kredibilitas oleh adanya kehadiran sebuah lembaga pendanaan. Kondisi ini salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh Bank Investasi Eropa dan Bank Dunia, Kreditanstalt für Wiederaufbau Jerman dan Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional dan lainnya

Pinjaman Langsung dari sektor swasta yang dianggap sebagai sistem transportasi perkotaan yang berkelanjuan, contohnya seperti jaringan MRT. Hal ni akan berada di area dimana harapan pada keuntungan akan sama dengan besar investasinya investasinya.contohnya : sistem pembayaran (investasi awal) dengan pendapatan yang diikuti dengan peminimalan biaya operasioanal (demand penumpang tinggi dan penjualan tiket yang tinggi). yang pada dasarnya diharapkan keuntungan yang didapatkan bisa melebihi nilai investasi awal. Kondisi untuk mobilisasi investasi modal swasta (bagi perusahaan dan pemegang saham) adalah diperlukan kerangka peraturan yang solid yang menjamin kerangka kerja kebijakan jangka panjang serta stabilitasnya.


Kunci untuk dari keberhasilan imlementasi visi yang merupakan slah satu bagian yang berpengaruh terhadap kesinambungan kondisi keuanagn yang ideal, dapat dicapai apabila seluruh investasi tersebut dapat dibayar kembali dari keuntungan hasil operasi.
Kesuksesan lembaga dalam mengatur dan menagani sistem operasi dan pendanaan pada infrastruktur (Operasi MRT dan stasiun) – yang didanai oleh negara (local, nasional, internasional) dari biaya invetasi dan biaya operasional, termasuk dari saham swasta lain yang bergerak dalam angkutan umum biasa seperti bus dan angkot.

Jika ditinjau dari sudut pandang sistem ekonomi yang berkelanjutan untuk jangka panjang, pengaturan sistem ideal yang mencakup pengaturan infrastruktur awal sebagai bagian dari investasi yang mana nantinya harus dapat mengembalikan nilai dari investas awal yang ditanamkan.
Tiga faktor keberhasilan utama yang diidentifikasi untuk memaksimalkan kinerja di bidang mereka yang berpengaruh pada sistem ekonomi selanjutnya. Kombinasi ini diharapkan dapat menghasilkan kesusksesan pengembalian investasi yang dapat diterima di masa mendatang.
Tanpa pengaturan skema target keuntungan, maka sistem tidak akan dapat diimplementasikan secara baik dan beroperasi secara penuh, akibatnya hanya akan terjebak pada lingkaran perasi yang tidak menguntungkan, atau malah menjadi merugikan.


Adapun ketiga faktor keberhasilan tersebut adalah
1. Pengaturan biaya awal
2. Meningkatkan keuntungan
3. Memotong biaya operasional



1. a. Biaya Konstruksi
- Produksi lokal/pengggunaan peralatan impor diminimalkan
- “prefab modules”
- Pembangunan satu jalur (kendaraan secara eksisting mudah terintegrasi dengan kota-kota serta terintegrasi pula antar perpindahan modanya)
- Pembangunan konstruksi transportasi yang eksklusif di lahan publik
- Meminimalisasi desain stasiun
- Stasiun harus terintegrasi antar kota besar atau antar daerah yang mempunyai bangkitan perjalanan yang tinggi, yang mana diperlukan biaya yang memadai untuk pembangunan konstruksinya sekaligus dengan pemeliharaannya yang juga akan member dmpak pada kualitas akses yang dihasilkan


b.Kendaraan di atas rel “Rolling Stock”
- produksi lokal secara masal yangberpotensi untuk diekspor
- sistem satuan yang berarti inegritas untuk semua jalur rel
- jumlah produksi yang tinggi (mengurangi biaya C&D per unit)


2. Meningkatkan jumlah penumpang yang diangkut
- Memaksimalkan headway
- Memaksimalkan kecepatan
- Memaksimalkan kapasitas kendaraan
- Penawaran sistem operasi atau desain transportasi yang menarik bagi penumpang
• Frekuensi yang sering
• Kecepatan yang optimal
• Akses yang mudah
• Kenyamanan
• Keselamatan
• Tariff yang sesuai
• Hiburan dan interaksi sosial yang nyaman

b Skema tariff angkutan untuk berbagai jenis penumpang :
- Pegawai sipil
- Pelajar dan mahasiswa
- Pensiunan
- Karyawan perusahaan
- Umum



Potensi kenaikan tariff dapat tergantung dari kemenarikan yang ditawarkan


c Potensi Publikasi
- Publikasi “Roling stock” sebagai transportasi rel atau jalur khuss yang menarik, dan bergerak pada saham paling besar
- Desain sistem interior rolling stock dan panel LED (kombinasi dengan informasi perjalanan)
- Elemen stasiun sesuai dengan menggunakan LED screens (kombinasi dengan informasi perjalanan)
- Publikasi pada elemen konstruksi seperti kolom dan jembatan
Penyewaan dari ruang struktur periklanan sebagian besar berada di dalam stasiun dan mempunyai akses yang baik pada daerah-daerah pusat ykegiatan masayarakat


3. d. Biaya operasional
- Perusahaan yang memegang sistem operasional adalah perusahan dari sektor swasta
- Manajemen operasi yang berdasar pada acukan kinerja professional
- Manajemen yang teraudit dan bersih
- Penempatan sumberdaya manusia yang sesuai pada tempatnya sesuai dengan kapasitas dan kinerja ( staf yang bertanggung jawab dan terlatih)
- Ekplorasi potensi untuk pengoperasian kereta barang
- Stasiun yang kecil ddengan sistem personal manajemen yang seminimal mungkin namun efektif
- Efisiensi energy, seperti :
1) Optimalisasi AC di sistem operasional kereta
2) Optimalisasi dalam percepatan dan penggunaan energy bahan bakar
- Kemudahan dalam pemeliharaan, seperti :
1) Pemeliharaan yang ramah lingkungan pada sistem transportasi rel
2) Pemeliharaan pembangunan yang ramah lingkungan untuk stasiun
3) Pemeliharaan stasiun sebagian dibebankan kepada investor operator struktur

Jika investasi untuk jaringan transportasi multi moda, termasuk didalamnya moda yang paling menarik bagi para pelaku perjalanan seperti MRT/BRT menguntungkan , maka dana publik dan swasta dalam kemitraannnya akan menyediakan sepenuhnya untuk pengembangan transportasi di seluruh kota di Indonesia, dan juga akan ber[engaruh pada tata ruang publik yang lebih menarik, untuk komunikasi, rekreasi, dan kemudahan dalam mobilitas

Teknologi terbaru dan manajemen proyek yang ada berpotensi untuk memberi pemotongan biaya untuk pengeturan sistem dan operasinya, dengan mempertimbangkan visi yang telah dijelaskan di di atas, di mana seluruh kota diharpakan bisa bebas dari pengoperasian kendaraan pribadi, dan untuk pemenuhan kebutuhan perjalanan dilakukan dengan angkutan umum.

Perhitungan peningkatan pbiaya dapat dimulai dengan cara sebagai berikut :
- Berasal dari permintaan investor untuk membangun sistem yang lengkap, dan diperhatikan dalam hal profitabilitas/ pendapatan yang diharapkan
- Berasal dari perimintaan perjalaann yang dihitung berdasarkan jarak dan moda yang digunakan dalam perjalanan dan tiket yang ditentukan, serta menghitung jumah dana yang tersedia dari skema operasi pendapatan yang telah dibuat.


6.4 Manajemen Parkir

1. Umum
Kota harus meminimalkan jumlah ruang publik yang ditujukan untuk parkir mobil. Misalnya dengan tidak mengubah area umum, jalan, trotoar dan lahan masyarakat yang tidak terpakai menjadi area parkir mobil. Sebaliknya, memberlakukan parkir pada off-street menjadi berbayar. On-street parking seharusnya hanya diberikan di mana jalan memiliki ruang yang cukup, yang tidak menyebabkan pemblokiran jalur lalu lintas, selain itu tidak menjadikan trotoar sebagai ruang parkir, dan harus diatur untuk memberikan prioritas kepada pengguna yang bernilai lebih tinggi.


2. Tujuan
Parkir manajemen adalah cara penting untuk mencapai tujuan lingkungan, sosial dan ekonomi. Parkir manajemen merupakan bagian dari kebijakan TDM, karena dapat bertindak sebagai faktor pendorong untuk mendukung peralihan menuju transportasi umum dan menghindari perjalanan yang tidak perlu.

3. Isu Utama
• Konflik kepentingan parkir antara instrumen kebijakan sebagai alat untuk melayani permintaan dengan kebijakan parkir sebagai upaya untuk membatasi permintaan2 perjalanan mobil.
• Konflik antara kebijakan untuk menggunakan parkir sebagai upaya manajemen lalu lintas dan untuk mencari pendapatan anggaran2.
• Tidak ada kebijakan pembatasan lalu lintas (Travel Demand Management) adalah jelas dan bersinergi dengan kebijakan pembatasan parkir (maksimum parkir) 2.
• Sulit untuk mengontrol on-street parking dalam kerangka kebijakan TDM. Sejauh ini, on-street parking menimbulkan masalah keamanan dan kemacetan, penyempitan jalan, mengurangi visibilitas dan memaksa pejalan kaki untuk berjalan di jalan jika tidak ada trotoar yang tersedia3.
• Kurangnya informasi tentang ketersediaan parkir di daerah dengan permintaan parkir yang tinggi menyebabkan sejumlah besar pengguna jalan berputar-putar mencari tempat parkir, sehingga berkontribusi terhadap kemacetan dan polusi3.
• Jumlah pungutan ilegal, sehingga mengurangi pendapatan karena kurangnya kontrol dan pengawasan2.



Kebijakan
Teknis Kebijakan- Jangka Pendek / Menengah:

a. Batas durasi on-street parking (jumlah maksimum waktu kendaraan diperbolehkan parkir), untuk mencegah masyarakat membawa mobil ke tempat kerja di pusat kota, dan mencegah pemilik kendaraan menggunakan on-street parking untuk menyimpan kendaraan jangka panjang. Atau, seperti di Belgrade, Yugoslavia, misalnya, diterapkan skala biaya parkir dengan tarif per jam menjadi semakin mahal untuk setiap jam tambahan.

b. Pembatasan penggunaan on-street parking kepada warga setempat.

c. Pembatasan parkir kendaraan besar.

d. Melarang on-street parking pada rute tertentu pada waktu tertentu (seperti jalan arteri pada jam sibuk), untuk meningkatkan jumlah jalur lalu lintas.

Teknis Kebijakan- Jangka Menengah / Panjang

Kebijakan Peraturan
1. Mengundang organisasi swasta yang bekerja di bawah atap administrasi publik untuk:
a. Persediaan dan perkiraan untuk pasokan permintaan parkir
b. Penyediaan pasokan on-street parking (desain, marka jalan, tanda posting)
c. Operasi fasilitas umum off-street parking.

2. Mengatur organisasi untuk mengontrol area parkir di daerah dengan peraturan tertentu (batasan waktu, biaya parkir), penerbitan dari denda tiket dan kontrol pembayaran berdasarkan waktu.

6.3.3 Perbaikan yang Disarankan

Kebijakan

• Melakukan rencana yang difokuskan dan dikaitkan secara langsung kepada keselamatan pengguna jalan. Apabila keselamatan aktif (active safety) untuk mencegah terjadinya kecelakaan belum dapat diwujudkan, maka paling tidak program-program keselamatan transportasi jalan harus dapat menciptakan keselamatan yang bersifat pasif (passive safety) untuk mereduksi dampak kecelakaan yang terjadi.
• Mengurangi angka kecelakaan merupakan salah satu langkah menuju tercapainya tujuan ini. Namun hal ini sering kali bukanlah satu-satunya jalan. Kegagalan manusia merupakan sistem utama penyebab kecelakaan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah pembinaan terhadap para pengguna jalan.
• Identifikasi terhadap standar keselamatan bagi tiap komponen sistem perlu dilakukan untuk menjamin ystem aman secara keseluruhan. Tidak menjadi manfaat jika sebuah komponen memiliki standar keselamatan yang sangat tinggi, sementara komponen lainnya mengalami kegagalan.
• Melakukan analisisi capaian dari indikator yang dicanangkan, dan diperkuat dengan kegiatan monitoring secara berkala dan dievaluasi pada akhir periode analisis.


Strategi

Program keselamatan transportasi jalan dilakukan dalam jangka pendek, jangka menegah, maupun jangka panjang. Program jangka pendek biasanya bersifat kuratif, misalnya bagaimana cara penanganan korban kecelakaan (emergency services), lebih cepat ditangani, atau lebih cepat bisa sampai di rumah sakit. Program jangka menengah lebih menekankan pada bagaimana pencegahan luka (passive safety) Sedangkan untuk program jangka panjang lebih bersifat preventif, yaitu bagaimana kecelakaan dapat dicegah (active safety) dan yang diinginkan yaitu tidak terjadi kecelakaan, namun itu sangat sulit. Strategi perbaikan aspek keselamatan lalu-lintas perkotaan dilakukan melalui1:

1. Membangun Masyarakat yang Sadar dan Menghargai Keselamatan di Jalan Melalui Pendidikan. Pendidikan merupakan fondasi, kerangka dasar, serta katalis bagi seluruh program agar secara berkelanjutan dapat membawa perubahan yang diinginkan baik pada level tingkah laku, keterampilan, maupun sikap di jalan.

2. Pengembangan Data dan Informasi Kecelakaan. Data dan informasi yang akurat dan dapat diandalkan merupakan modal dasar yang sangat penting bagi perencanaan dan evaluasi program keselamatan. Belgia dan Italia hingga kini masih melakukan reformasi untuk memperbaiki sistem pelaporan kecelakaan (collision report system) sehingga data yang berkualitas dan konsisten dapat diperoleh dan dimanfaatkan bersama secara maksimal.

3. Menciptakan Sistem Penjaminan Resiko Keselamatan yang Berkeadilan dan Sumber Pendanaan Keselamatan Lalu Lintas. Dikembangkannya sistem penjaminan resiko keselamatan yang “berkeadilan” merupakan salah satu strategi dalam keselamatan, “Keadilan” ini tercermin dari dua hal. Pertama, pengemudi sebelum turun ke jalan wajib mengasuransikan orang atau properti yang ditabraknya dan kelak menerima disinsentif dengan membayar premi asuransi yang kian mahal jika terbukti bersalah dalam lebih dari satu kejadian kecelakaan. Kedua, korban kecelakaan menerima santunan dengan besaran yang layak.

4. Meminimalisir Resiko Ancaman dari Defisiensi Keselamatan pada Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan melalui Pendekatan Rekayasa Modern. Dilihat dari aspek rekayasa (engineering), keselamatan paling baik dan ekonomis diwujudkan dalam desain jalan sejak dari tahap perencanaannya Untuk keperluan pengawalan aspek keselamatan dari sejak tahap perencanaan jalan, negara-negara maju telah mengembangkan alat bantu desain yang memungkinkan perencana jalan mengintegrasikan keselamatan pada seluruh proses desain. Dalam jangka menengah, Indonesia semestinya segera mengadopsi metode perencanaan dan pemantauan manajemen rekayasa lalu lintas secara modern yang adaptif terhadap aspek keselamatan.

6.3.2 Main Issues

Berdasarkan keadaan kondisi lalu-lintas, pertumbuhan kendaraan dan kemampuan SDM serta prasarana, maka target dari rencana ini adalah untuk menekan laju angka kematian dari 5,8% hingga 3,4% per tahun selama lima tahun ke depan. Program keselamatan lalu lintas difokuskan pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap keselamatan di jalan raya, khususnya ditujukan bagi para pengendara (kendaraan umum maupun pribadi) dan pembaruan sistem perijinan mengemudi yang ada saat ini.
Target yang diusulkan untuk dicanangkan dalam program keselamatan transportasi jalan adalah1:
“Menekan 20% fatalitas per 100.000 penduduk dalam 10 tahun dari 14,1 (2002) menjadi 11,3 (2012) dan 15% korban luka parah per 100.000 penduduk dalam 10 tahun dari 207 (2002) menjadi 187 (2012)”.

Sumber: DGLT: Grand Design Keselamatan, 2008

6.3.1 Umum

Keselamatan adalah terbebasnya pengguna transportasi dari kejadian kecelakaan berupa luka ringan, luka berat dan meninggal dunia. Data kecelakaan lalu lintas tahun 2001 sampai dengan 2006, jumlah kejadian kecelakaan terus meningkat, sebanyak 7 kali dalam perioda 5 tahun, begitu juga tingkat fatalitas meningkat dari 9.522 orang (2001) menjadi 15.762 orang (2006). Rasio kejadian kecelakaan / 100.000 penduduk juga meningkat dari 61 (2001) menjadi 193 (2006).


Berdasarkan jenis kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas sebagian besar adalah sepeda motor dengan prosentase 4 tahun terakhir rata-rata 62,62% kemudian diikuti mobil penumpang 36%, kendaraan barang 29,62% dan bus 10,56%. (Ditlantas Polri dalam Ditjen Hubdat, 2008)

6.2 Pengendalian Dampak Lalu Lintas

Pengembangan baru di Indonesia telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi muncul tanda-tanda peningkatan perekonomian yang kuat di perkotaan, di sisi lain hal ini berperan terhadap penurunan kondisi transportasi secara signifikan.

Sebagai contoh, pengembangan gedung-gedung bertingkat yang memiliki fungsi yang sama di CBD, banyaknya permukiman warga yang berada di pinggiran kota, dan lebih dari 50 mall, yang dibangun dalam beberapa dekade terakhir di Jakarta telah berperan terhadap terjadinya jam puncak kemacetan di Jakarta. Selain itu juga jarang terjadi bangunan-bangunan ini mengurangi dampak transportasinya secara aktif, misalnya menyediakan fasilitas pejalan kaki, sepeda, ataupun akses langsung ke sarana transportasi umum.

Untuk mengatasi hal ini, kota-kota di Indonesia telah memperkenalkan Analisa Dampak Lalu Lintas / ANDAL-LALIN (Traffic Impact Assessment / TIA).

Dikarenakan keterbatasannya, proses ANDAL-LALIN yang telah berjalan tidak dapat memecahkan permasalahan yang ada secara efektif ataupun mencegah dampak transportasi lain yang timbul karena perkembangan baru. Pendekatan yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih objektif dibutuhkan untuk secara efisien mengelola dampak transportasi. Lebih jauh lagi, metode yang lebih komperehensif dibutuhkan untuk meningkatkan pengembangan yang lebih efisien dari segi ekonomi, mungkin secara keuangan untuk pengembang dan investor, namun juga secara makro ekonomi dapat berkelanjutan untuk pemeliharaan bahkan untuk pertumbuhan perkotaan secara berkelanjutan.

Persyaratan ini mengharuskan pengenalan pentingnya mekanisme Transport Impact Control / TIC di kota-kota administrasi, bukan hanya pada saat pengeluaran izin ataupun izin pengembangan baru, tetapi juga setelah periode pengembangan tersebut diterapkan dan saat operasional.

Tujuan memperkenalkan TIC adalah agar pemerintah daerah dapat mengendalikan dampak transportasi yang terjadi. Hal ini berarti:
• memantau kondisi lalu lintas eksisting (volume dan tingkat pelayanan)
• mengendalikan volume lalu lintas dan distribusinya dari proyek pengembangan yang telah disetujui
• memperkirakan dampak transportasi dari pengembangan baru
• mengkuantifikasi tingkat polusi udara dan suara (tahapan selanjutnya dari TIC)
• mengidentifikasi langkah-langkah yang akan mengurangi dampak yang dihasilkan
• menyediakan dasar hukum yang dibutuhkan dan standar prosedur pengoperasian untuk proses TIC
• memantau langkah-langkah mitigasi yang telah disetujui
• mengkomunikasikan dampak yang mungkin terjadi kepada warga kota

Dengan menggunakan TIC, kota-kota di Indonesia akan memiliki kapabilitas untuk melakukan pemeliharaan yang lebih baik terhadap kualitas kehidupan kota dan melindungi dari dampak transportasi akibat pengembangan baru.

Dikarenakan pengendalian pengembangan baru didasarkan pada dampak transportasi yang ditimbulkan, TIC dapat dijadikan alat yang efektif untuk mengintegrasikan dan mendorong perencanaan tata guna lahan dan pengembangan transportasi di tingkat lokal.

Metodologi Pendekatan
Pengembangan yang efisien secara ekonomi hanya dapat diwujudkan jika biaya eksternal maupun biaya sosial dipertimbangkan dalam perhitungan bisnis dan investasinya.
Pendekatan utama berdasarkan pada prinsip bahwa setiap pengembangan baru mengakibatkan biaya transportasi total yang berhubungan dengan pengembangan ditutupi dengan pembagian saham terhadap dampak itu sendiri. Prinsip ini sama denga prinsip “polluter pays” pada manajemen polusi lingkungan.

Dikarenakan pendekatan alami yang komperehensif, dampak transportasi dipertimbangkan tidak hanya terbatas pada dampak lalu lintas pada infrastruktur eksisting, tapi juga harus termasuk dampak keselamatan, lingkungan (polusi udara, polusi suara, dan perubahan iklim), serta distribusi kendaraan beserta konsekuensinya.

6.1 Manajemen Permintaan Transportasi

Manajemen permintaan transportasi sebagai salah satu instrumen dasar untuk mempengaruhi dan panduan pola transportasi dianggap suatu alat yang efektif dalam konteks sistem transportasi fungsional ditetapkan perkotaan, sebagaimana dapat ditemukan di negara-negara industri.

Tindakan seperti pengendalian dampak transportasi , perkembangan sistem transportasi cerdas , pengenaan biaya jalan atau manajemen parkir termasuk dalam bingkai TDM.

Aplikasi ini - bahkan dalam berbagai macam dan luas - mendapatkan pekerjaan di perkotaan Indonesia manajemen lalu lintas, namun tidak satupun dari ini harus diharapkan dapat memecahkan masalah mendasar.

Tidak terdapat sistem kerja fungsional di tempat, setiap perbaikan atas situasi yang ada tidak akan menjadi solusi melainkan hanya cara untuk memperlancar gejala sakit dan menunda keruntuhan diprediksi.

Visi yang muncul dari langkah-langkah TDM akan membantu mengelola pada masa transisi: untuk menarik penumpang kepada moda transportasi umum yang telah ditingkatkan seperti membuat fasilitas yang lebih baik bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda sehingga menekan pengguna kendaraan pribadi untuk mengurangi penggunaannya.

Langkah-langkah “menekan” ini dapat menarik beberapa investasi besar dan harus dipertimbangkan berdasarkan latar belakang penggunaan jangka menengah:
Road pricing:
Fase transisi lebih mengarah kepada langkah-langkah menengah seperti penjualan stiker untuk mobil (kadang juga untuk motor) agar dapat masuk ke area CBD.

Dengan komitmen Indonesia yang tinggi untuk mengurangi GHG dan polutan, disarankan untuk menghubungkan masing-masing CBD dengan “penyesuaian emisi” kendaraan:

Semakin banyak emisi yang dikeluarkan, semakin mahal harga stiker yang diberikan.
Investasi ERP untuk kota metropolitan ditambah ratusan juta US$ yang akan dipotong dari anggaran yang dapat digunakan untuk membiayai MRT atau moda transportasi umum lainnya.

Namun demikian investasi ini akan kembali dalam jangka waktu operasi relatif pendek.
Langkah-langkah institusional penerapan TDM tampak menjanjikan tingkat kesuksesan yang tinggi, sementara hambatan besar yang menghadang penerapan ini harus dipertimbangkan.

TDM secara kelembagaan dilakukan dengan langkah-langkah yang dikelola oleh institusi dalam organisasi. Dampak yang relatif kecil untuk masing-masing langkah-langkah TDM akan ditambahkan dan dapat menjadi kontribusi yang signifikan jika diimplementasikan ke seluruh kota dengan cara terstruktur.
Langkah-langkah kelembagaan TDM yang mungkin mencakup:
• pengusaha utama (pabrik, kantor, dll)
• pusat perbelanjaan dan mall
• sekolah dan perguruan tinggi
• daerah permukiman
Contoh langkah-langkah bentuk kelembagaan TDM:
• TDM dengan konsep manajemen pemilihan moda
• tiket untuk orang yang bekerja (disediakan oleh pemilik pekerjaan)
• tiket semester (disediakan oleh sekolah atau perguruan tinggi)
• insentif dan disinsentif parkir (tarif parkir yang tinggi, pengeluaran parkir, dll)
• fasilitas sepeda di tempat tujuan (tempat parkir, tempat mandi, tempat berganti pakaian, dll)

5 Kerangka Kelembagaan (Aktor, Otoritas)

Dengan telah dilaluinya proses desentralisasi yang ambisius oleh Indonesia, yang menciptakan lanskap politik yang semakin kompleks, ada banyak perbedaan pada institusi pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah dalam hal perencanaan, pengelolaan, dan pengaturan transportasi perkotaan.

Contoh dari Singapura atau lebih jauh lagi pemerintahan satu lapis sepertinya tidak akan diadopsi di Indonesia. Namun demikian tetap dibutuhkan satu badan yang mampu menangani seluruh isu transportasi.

Kementerian Perhubungan harus menjadi agen utama dalam hal ini. Sebagai alternatif, masing-masing kota harus memiliki badan yang berwenang, sebaiknya yang mampu mencakup seluruh isu transportasi, termasuk jaringan komuter.

Konstruksi fisik dari infrastruktur transportasi harus mengikuti instruksi kepemimpinan politik, tidak boleh ada jalan yang dibangun selama jangka waktu perluasan penggunaan kendaraan umum.
Kepemimpinan politik pusat harus memikirkan kebijakan yang akan dibuat untuk masa yang akan datang, visi yang jelas, dan kemauan politik yang kuat, dengan cara yang modern yang disebut “kejuaraan”.

Juara tunggal di pemerintahan pusat seperti juga di tingkat administrasi daerah, berada di bawah permintaan untuk membangun visi mereka, membangun kerangka perencanaan yang tepat, dan mengoordinasikan setiap langkah dengan peta kompleks dari pihak-pihak yang terlibat.
... Organisasi berbasis masyarakat yang dimobilisasi untuk survei untuk penerimaan peta dan keuntungan bagi skema mobilitas baru perkotaan.

Unit Pemerintah tingkat lokal terkecil, seperti RT / RW dan kelurahan, ikut terlibat untuk memetakan walkability ada lingkungan, yang meliputi identifikasi trotoar jalan, hambatan dan potensi untuk pelebaran jalan, perbaikan permukaan , perbaikan iklim mikro dan ekstensinya .
Penyebaran dan integrasi proses pengembangan kebijakan mencakup beberapa payung – dan kementerian seperti juga jumlah departemen di tingkat kota maupun propinsi.

Mengurutkan kebijakan bersama dengan pihak-pihak ini membutuhkan kondisi saling mendukung dan berkoordinasi demi keberhasilan implementasi langkah-langkah kebijakan.

Masing-masing kementerian yang bertanggungjawab terhadap peraturan harga bahan bakar disarankan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga untuk konsumen yang membeli bahan bakar untuk mengurangi penggunaan mobil dan motor selama masa transisi.

Langkah-langkah serupa diberlakukan untuk menaikkan pajak pembelian dan pendaftaran mobil baru.
Agar gas alam terkompresi dan gas cair minyak bumi tersedia untuk bus, taksi, dan kendaraan pribadi, jaringan stasiun harus diperluas ke seluruh Indonesia terutama di perkotaan. Untuk mencapai hal ini terdapat insentif dipasang di stasiun pengisian bahan bakar yang memiliki keuntungan minimum seiring dengan peningkatan produksi dan suplai.

Bus dan armada taksi mendapatkan suplai langsung dari depot.
Departemen yang berwenang terhadap master plan, perencanaan perkotaan dan tata guna lahan, pemberian izin bangunan yang berdampak terhadap transportasi sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Bangunan dengan ukuran yang lebih besar harus dilakukan langkah-langkah untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lalu lintas di sekitarnya juga langkah-langkah penyesuaian terhadap pola permintaan transportasi yang berubah.

Seperti juga langkah-langkah manajemen permintaan transportasi lainnya yang bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, hal ini hanya dapat diimplementasikan dengan peningkatan ketentuan transportasi umum.

Polisi lalu lintas maupun pihak lain yang berperan dalam penegakkan hukum didorong untuk dapat membangun sistem untuk cakupan yang menyeluruh dan penanggulangan yang konsekuen terhadap pelanggaran lalu lintas, dengan mengimplementasikan pengenaan denda secara langsung juga termasuk pencabutan izin angkutan umum.

4.7 Perencanaan Tata guna Lahan

- Kepadatan
- Keanekaragaman
- Desain
- Pengembangan berorientasi transit
- Perencanaan jaringan jalan

Kota di Indonesia harus didefinisikan dalam batas-batas yang sebenarnya dan mungkin terlalu sempit untuk mencegah dari penyebaran penduduk di perkotaan lebih lanjut dan untuk membuat langkah segera menuju jalur hijau dan alam.

Ruang bukan untuk pribadi dan ruang tidak terbangun di pusat kota diubah dari dominasi kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) yang mengisi ruang publik milik negara menjadi lingkungan bebas polusi, ruang pejalan kaki, rekreasi dan komersial .

Pada perkembangan selanjutnya sektor swasta dan publik ditingkatkan dekat dengan akses transportasi umum, yang berada di sepanjang koridor dan stasiun moda transportasi, terkonsentrasi dan kepadatan di sekitar yang menghubungkan stasiun.

Pendekatan perencanaan perkotaan menuju pada pembentukan kepadatan dan penggunaan bersama dan mendapatkan kembali ruang untuk pejalan kaki dan sepeda dengan tujuan untuk mengalihkan permintaan perangkutan ke moda kendaraan tidak bermotor.

Menciptakan kepadatan dan fungsi bersama di daerah sub-perkotaan yang luas akan mengarah ke sub-pusat dimana terjadi banyak aktivitas dan kebutuhan sehari-hari masyarakat: perkantoran, permukiman, pendidikan, hiburan, fasilitas publik, pusat perbelanjaan, dll.

Sub-pusat ini memiliki prioritas paling tinggi untuk dihubungkan dengan distrik pusat bisnisdan diantaranya dengan skema mass rapid transit, seperti kereta ringan / MRT atau jalur BRT.
Kota masa depan secara 3-dimensi dihubungkan dengan: Tingkat atas dari struktur multiguna yang dihubungkan antara satu sama lain dengan platform tingkat atas dan jembatan, menyediakan koneksi pejalan kaki yang terlindung sebagian.

Masa depan urbanisasi bergantung pada konektivitas. Mega struktur akan memulai proses; kemudian diikuti oleh struktur yang lebih kecil, jika tidak berekperimen bahkan sebelumnya sebagai garda depan, dan menjangkau daerah sekitar melalui jembatan, platform lantai atas, terowongan, dan elemen arsitektural lain yang dapat dibayangkan menyambungkan suatu gedung dengan lingkungan sekitarnya.

Alun-alun kota dan tempat-tempat semi-publik pada beberapa tingkat terlindung lanskap yang lebih tinggi atau taman gantung akan menjadi fitur arsitektur yang terkenal untuk pusat kota karena mampu menghubungkan bangunan dengan masyarakat, jalan, dan struktur lingkungan.
Mobilitas warga kota akan ditingkatkan dengan penerapan konsep pejalan kaki yang intensif, dengan menyediakan trotoar luas, nyaman, terlindung, dan aman dari banjir. Kemudian akan ditinggikan lagi pada masa yang akan datang, berpindah dari satu gedung ke gedung lainnya, sepanjang atau melalui kota-kota modern di Indonesia yang akan memiliki ruang publik tingkat dua dan tingkat tiga yang berada di atas jalan-jalan penuh sesak dan rawan banjir menjadi tempat transit pejalan kaki.

Sebagai tambahan, akan ada sistem kereta ringan terelevasi yang membawa warga kota, tenaga kerja, klien, dan pelanggan langsung ke gedung:
Setiap stasiun terintegrasi dengan lobi lantai atas dari struktur multi guna ini yang didesain untuk perumahan, perkantoran, perbelanjaan, pendidikan, dan hiburan semua menjadi satu, atau – dimanapun jalur ini dijalankan melalui ruang publik yang berdekatan, seperti di atas jalan kota – maka ini diarahkan secara langsung pada tingkatannya untuk memudahkan transit.
Jalur Mass Rapid Transit ini merupakan tantangan baru bagi para arsitek yang diminta untuk mengintegrasikan stasiun transit dengan desainnya.

Pengembang dan investor akan setuju untuk menyediakan dana tambahan karena yang membuat gedung tersebut mampu menghasilkan adalah terhubungnya gedung dengan transit massal, baik itu dari sisi pejalan kaki maupun kereta.

Arsitek harus meyakinkan klien mereka, pemilik tanah, dan pengembang mengenai pentingnya pembangunan dan keuntungan yang akan didapat daripada menyerah terhadap kerumitan kota dan menyesuaikan dimensi, proporsi, struktur, dan bentuk arsitektural daripada menunjukkan individualisme atau monumentalisme.

Konektivitas menjadi bagian paling penting dari suatu gedung, sebagaimana masing-masing fungsi hanya akan berhasil jika warga masyarakat mendapatkan cara termudah, teraman, tercepat dan bertingkat, kering, dan permukaan lantai yang kuat, paling nyaman, secara alami terkendali terhadap iklim dan memiliki tempat terlindung terhadap ruang.

Multifungsi adalah bagian pengembangan yang akan datang ketika masing-masing elemen bangunan melayani banyak tujuan:
Seperti jendela yang memiliki banyak fungsi, fitur kedatangan dari bangunan, pintu masuk alun-alun dan jembatan, akan melakukan hal yang sama.

Jembatan pejalan kaki – hal ini mencirikan elemen kota masa depan – menyediakan jalur pejalan kaki dari satu gedung ke gedung lain pada saat yang sama sebagai tempat bertemu, area peristirahatan, tempat observasi, dan pusat perbelanjaan.

Adalah sebuah tantangan untuk pihak yang berwenang untuk membimbing, perencana perkotaan, yang bernegosiasi dan mendapat izin bangunan, untuk memulai, meningkatkan, dan menegakkan proses ini dengan menuntut konektivitas sebagai kondisi untuk membuat kota sebagai tempat untuk berkoneksi, nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali.

Tantangan hebat diberikan kepada semua orang jenius, inovatif, dan kreatif di Indonesia seperti juga desainer internasional untuk membangun kota-kota masa depan di Indonesia.

Arsitek diharapkan mengadopsi fitur bangunan untuk mobilitas dan menyediakan akses berskala manusia untuk dinikmati di sekitar dan diantara struktur modern. Perencana perkotaan, desainer ruang publik dituntut untuk dapat membangun konektivitas dan kenyamanan bagi persinggahan warga kota.

Perencanaan kota dan kebijakan, pola induk, perencanaan tata guna lahan, dan perencanaan transportasi jarang sekali diimplementasikan. Ada permintaan untuk menciptakan koheren, menyatukan perbedaan untuk bersama-sama menghasilkan perencanaan yang menyeluruh, yang menjadi dasar pengembangan selanjutnya.

Jika, seperti praktik yang sudah ada, terdapat perbaikan berkelanjutan dan mendukung terhadap perubahan yang cepat, dan terdegradasi hanya sebagai respon dan pengaktifan ulang refleksi dari perubahan kota, perencanaan kota menjadi tidak penting.

Perusahaan, institusi, ataupun kepentingan swasta lainnya tidak perlu lagi mendapat perhatian yang lebih dari kepentingan umum berkonsolidasi dalam rencana ini dan menjadi terikat secara hukum.

Perencanaan mengenai perencanaan perkotaan menjadi lebih proaktif dan harus mencakup implikasi dalam waktu layan dari awal sampai kelanjutan implementasi dan penegakkan.
Agar dapat berhasil dalam hal tersebut, perencanaan perkotaan harus berupa perencanaan bervisi jangka panjang yang menjangkau jauh hal-hal yang terduga maupun yang tidak terduga.
Beberapa perencanaan tidak hanya menjadi alat untuk memperbaiki permasalahan yang sudah ada saat ini, tapi juga sebagai penuntun pengembangan kota agar dapat terikat secara hukum sehingga dapat mencapai tujuan dengan visi jangka panjang, strategi, dan prosesnya.

Inovasi yang tidak terbatas adalah hal yang ditunggu-tunggu, atau disebut juga sebagai “peluang desain”.
Sub-urbanisasi, lingkungan perumahan dengan kepadatan rendah yang monokultur, membawa pada penyebaran tidak merata di kota dan menyebabkan komuter jarak jauh, salah satu penyebab kemacetan karena perjalanan dilakukan dengan kendaraan pribadi dan tidak adanya jaringan transportasi umum terintegrasi sehingga permukiman tersebut tidak terlayani dengan baik.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya jalan dibangun, semakin kemacetan terjadi, karena pembangunan jalan hanya akan meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi dan menjauhi penggunaan NMT serta angkutan umum.

4.5 Kendaraan Pribadi

Dengan rencana pengurangan penggunaan kendaraan pribadi di pusat kota, semua kebijakan akan mendukung upaya tersebut. Prioritas diberikan kepada faktor penarik yang artinya meningkatkan daya tarik angkutan umum.

Ketika jaringan antar angkutan umum dapat terhubung dengan sangat baik sehingga menciptakan jaringan yang mudah diakses, penggunaan kendaraan pribadi akan semakin berkurang dengan penerapan mekanisme TDM seperti road pricing, manajemen parkir dan pembelian mobil, kepemilikan mobil, pajak, yang tergolong ke dalam faktor pendorong.

Strategi tarik dan dorong ini bekerja bersama-sama dengan faktor penarik lebih dominan di awal dan faktor pendorong mulai mengisi pada masa transisi.

Lebih cepat suatu kota mencoba mengimplementasikan jaringan transportasi umum yang menarik, lebih cepat juga pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dapat dilakukan, maka semakin cepat juga kota tersebut menjadi lebih nyaman untuk ditinggali.

Kebijakan mobilitas ini menyarankan kota-kota untuk secepatnya memulai transisi menuju kota yang nyaman untuk ditinggali, masyarakat harus bersiap untuk langkah-langkah:
Menyebarkan pesan bahwa penggunaan kendaraan pribadi (mobil) lebih baik digunakan untuk transportasi antar kota, transportasi dari dalam kota menuju pinggiran kota, untuk perjalanan bisnis atau rekreasi serta aksesibilitas ke pinggiran kota, namun tidak dapat ditoleransi untuk perjalanan ke CBD.

Pada fase transisi ditekankan kebijakan mengenai “mencegah – mengganti – meningkatkan”:
• mencegah penggunaan mobil dan motor,
• mengganti moda menjadi berjalan kaki, menggunakan sepeda, dan angkutan umum
• meningkatkan fasilitas pejalan kaki dan angkutan umum dan (selama periode transisi) dan performa kendaraan pribadi (mengurangi emisi, suara, dan cakupan jalan serta meningkatkan keamanan dan efisiensi)

Contoh langsung untuk mengurangi peran sepeda motor dan meningkatkan peran angkutan umum berada pada kekurangan sepeda motor itu sendiri: resoki kecelakaan yang tinggi, polusi suara dan polusi udara. Untuk jangka panjang, seiring dengan peningkatan ekonomi, pengguna motor akan berganti menjadi pengguna mobil yang akan memberi dampak serius dalam hal kemacetan dan di waktu yang sama akan mengurangi efisiensi, kecepatan, keandalan pelayanan bus. Hal ini akan mempercepat lingkaran tak berujung yang sudah umum terjadi di berbagai kota dengan berkurangnya penggunaan busa dan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi.

BSTP akan menjadi pelopor dalam mengurangi penggunaan sepeda motor dalam hubungannya dengan penggunaan bus, dengan meningkatkan karakteristik pelayanan bus (mengurangi waktu tunggu, meningkatkan keandalan, aksesibilitas, kenyamanan, kecepatan, dan biaya rendah) den mengambil langkah-langkah untuk bertahan terhadap penggunaan sepeda motor dengan cara:
• pengenaan biaya untuk parkir motor di pusat kota
• membuat zona pusat pejalan kaki dengan akses bus
• penegakkan izin yang lebih efektif, penegakkan hukum mengenai polusi udara, suara, dan lalu lintas
• meningkatkan biaya kepemilikan dan penggunaan sepeda motor, termasuk sedikit demi sedikit mengurangi subsidi bahan bakar

4.4.6 Kereta Api Perkotaan

1. Kondisi Eksisting dan Target

Kereta api (KA) menjadi moda transportasi darat utama sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, namun perannya semkin menurun. Panjang jaringan jalan KA 7.583 km tetapi 2.500 km diantaranya telah ditutup. Pelayanan KA penumpang hanay berada di pulau Jawa dan Sumatera, dengan komposisi kelas eksekutif 15%, bisnis 27% dan ekonomi 59%. KA perkotaan dilayani dengan KA komuter dan hanya tersedia di kota-kota metropolitan Jakarta (Jabodetabek), Bandung (Bandung Raya), Surabaya (Gerbang Kartosusilo) dan Semarang (Kedungsepur). Peran KA perkotaan masih sangat kecil, dimana untuk wilayah Jabodetabek jumlah pengguna perjalanan KA baru mencapai 2-3% dari total perjalanan orang per hari.

Target yang diharapkan dalam pengembangan KA Perkotaan adalah pengembangan MRT berbasis rel (subway dan elevated) yang dapat melayani seluruh kota metropolitan, sehingga menjangkau kota Medan, Palembang dan Makassar pada tahun 2030. KA perkotaan yang ada saat ini ditingkatkan kemampuannya sehingga dapat melayani dengan headway 3 menit per arah pada jam-jam puncak. Koridor BRT di wilayah kota metropolitan yang potensial, berkembang pesat dan lahannya mencukupi dapat dikonversikan menajdi KA Perkotaan.

2. Strategi

Agar di kota-kota metropolitan di Indonesia, KA Perkotaan menjadi primadona, diperlukan startegi yang jelas dalam kurun 20 tahun kedepan

Prioritas 1- Aksesibilitas
Untuk sebagian besar warga masyarakat, bus bukanlah pilihan utama mereka untuk melakukan transportasi, karena hal itu di daerah pusat kota harus disediakan akses pejalan kaki yang menarik menuju stasiun KA Perkotaan yang berada tidak lebih dari 1 km dari pusat kota. Akses bagi pejalan kaki ini dapat dilalui dengan waktu kurang dari 10 menit.

Prioritas 2- Pengembangan Lahan Komersial
Bisnis di sekitar stasiun kemudian ditingkatkan seiring dengan kembalinya ruang publik sebagai akibat dari menurunnya jumlah kendaraan pribadi, sehingga para penumpang dapat menikmati kehidupan perkotaan sebelum ataupun sesudah menaiki kereta.

Prioritas 3- Jaringan
Kota-kota dengan ukuran cukup luas disarankan untuk membangun jaringan sistem MRT yang menjangkau daerah CBD dan menghubungkan permintaan komuter yang bertambah.

Dengan semakin luas dan padatnya jaringan yang dibangun, maka akan menjadi pilihan transit yang menarik, tidak hanya jumlah penumpang yang bertambah, tetapi juga penambahan jumlah penumpang per kilometer. Hal ini diharapkan dapat membuat keuntungan dari sisi penjualan tiket.

Priroitas 4- Efisiensi Investasi
Kebutuhan investasi ditentukan oleh permintaan penumpang dan dengan sejumlah investasi yang mampu dikeluarkan oleh kota.

kebutuhan investasi yang besar tidak sanggup dipikul oleh anggaran belanja kota sendiri, sehingga memerlukan dukungan dari anggaran dari pemerintah pusat, serta sektor swasta, termasuk perbankan.

Dengan sejumlah pendanaan diserap oleh sektor penelitian dan pengembangan, desain dan perencanaan seperti juga desain rolling stocks, terdapat potensi yang cukup besar untuk mengurangi biaya per unit / km jika sistem dimultiplikasi di dalam kota atau di antara beberapa kota (termasuk permintaan ke luar).

Prioritas 5- Kelembagaan
BSTP di bawah Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan pemerintah kota mengambil peran untuk berkoordinasi yang berhubungan dengan persoalan teknis (BPPT, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, dll), keuangan (Kementerian Keuangan), dan perencanaan (Bappenas) juga konstruksi (Kementerian Pekerjaan Umum).

Prioritas 6- Integrasi
Jalur kereta komuter yang sudah ada maupun yang sedang dibangun (seperti MRT Jakarta) ataupun yang baru setengah dibangun (Jakarta Monorel), harus diintegrasikan dengan jaringan, dengan moda yang sudah ada meningkatkan kapasitasnya dan membuat jalur langsung menuju stasiunnya, struktur monorel digunakan ulang untuk struktur yang memiliki elevasi lebih tinggi untuk jaringan mass rapid transit yang lebih luas.

4.4.5 BRT


1 Bus Rapid Transit
1.1 Kondisi dan permasalahan

Bus merupakan alat transportasi massal yang paling banyak digunakan di belahan dunia, namun saat ini keberadaannya tidak selalu mendorong keinginan masyarakat untuk menggunakannya. Untuk situasi di Indonesia, hal ini senderung diakibatkan oleh pelayanannya yang tidak dapat diandalkan, tidak nyaman dan tidak aman.

BRT (Bis Angkutan Cepat) bisa memberikan suatu alternatif layanan terjangkau di kota-kota dan perkotaan yang memiliki koridor demand yang tinggi. Tujuan dari pengembangan BRT di kota-kota di Indonesia yaitu untuk memindahkan manusia dengan massal, cepat, berkualitas tinggi, aman, efisiensi dan murah, dan yang paling penting bukan memindahkan kendaraannya. Penerapan BRT sudah dimulai dengan beroperasinya sistem TransJakarta sejak tahun 2004 dengan menerapkan prinsip lessons learned dari kota-kota BRT di dunia dan sudah saat ini mencapai kapasitas ± 8.000 penumpang/jam/koridor. Jumlah ini masih terbilang sangat rendah dibandingkan kesuksesan penerapan BRT di negara lain seperti di kota Bogota yang mencapai xxx penumpang/jam/koridor. Hal ini lebih disebabkan oleh kemampuan institusional yang belum maksimal. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mulai bertahap menuju ke sistem BRT walaupun saat ini masih beroperasi dengan status “system transit”. (lihat pendahuluan angkutan umum).

Visi kedepan diharapkan sistem BRT ini dapat menjadi tulang punggung masyarakat perkotaan khususnya di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar. Selain itu setidaknya pada tahun 2030 ada 6 kota di Indonesia yang mampu merencanakan, mengoperasikan dan memelihara sistem BRT berkelas dunia.


Gambar xx: Spektrum evolusi angkutan umum

spectrum evolusi angkutan umum dari sistem tradisional informal transit service (angkot) ke arah BRT yang sepenuhnya. Dimanakah posisi kota-kota Indonesia saat ini dan mau dibawa sampai ke tahap manakah?


1.2 Strategi dan Solusi

Strategi menuju kesuksesan pengelolaan BRT sejalan dengan pengelolaan bis yaitu melalui 4 pilar:
1. Kebijakan yang terarah, tujuan dan strategi pencapaian yang realistis.
2. Struktur sektor angkutan yang patuh terhadap peraturan dan mampu dalam menyediakan layanan yang responsif terhadap permintaan


Gambar xx: Empat pilar keberhasilan pengelolaan bis

3. Kerangka perencanaan dan peraturan yang mampu mencapai tujuan-tujuan kebijakan
4. Adanya perencanana dan regulator yang handal

Proses perencanaan BRT yang terarah secara logis dapat dicapai dalam waktu 12-18 bulan dan bisa dikategorikan dalam delapan tahap . Gambar di bawah ini merangkum keseluruhan tahap tersebut. Namun dari semua tahapan tersebut kunci utamanya yaitu berada di political leadership, tanpa adanya kemauan politik yang kuat dari pemimpin maka akan sulit untuk memenangkan dukungan public.

Isu-isu (prinsip) penting terkait dengan pengembangan BRT:
• Biaya operasional bebas subsidi
• Penentuan koridor tidak saja hanya berdasarkan jumlah populasi dan luas suatu kota, namun berdasarkan (a) analisis demand dikoridor tersebut (b) meminimalkan jarak perjalanan dan waktu perjalanan bagi segmen populasi terbesar (c) dalam beberapa jalur awal hendaknya mengembangkan di kawasan masyarakat menengah ke bawah yang memperlihatkan BRT sebagai daya tarik bagi pembangunan yang positif (d) pengembangan koridor seluruh kota (city-wide) yang akan menstimulasi dukungan politik dan politik
• Rasio pegawai dan jumlah bis harus efisien
• Integrasi yang didukung oleh feeder dan moda transportasi lainnya
• Sistem control terpusat dengan derakat manajemen dan control sistem yang tinggi




Adapaun kendala yang secara umum yang sering dihadapi di lapangan meliputi (1) Kemauan politik, (2) Informasi, (3) Kemampuan institutional, (4) Kemampuan teknis, (5) Pembiayaan (financing), (6) Keterbatasan geografis/fisik.

1.3 Aktion Plan

Gambar berikut ini mengilustrasikan proses perencanaan BRT dari awal sampai akhir dalam waktu hingga 18 bulan

4-6 Bis (Besar, Sedang, Kecil)

Suatu sistem transportasi umum yang baik, menjadikan suatu kota yang berekonomi kompetitif, mempunyai kondisi lingkungan yang baik, dan taraf kehidupan yang terus meningkat. Bus merupakan tulang punggung transportasi perkotaan di Indonesia.

Prioritas 1 - Sasaran

Sasaran kebijakan untuk pelayanan transportasi umum adalah sebagai berikut :
a. Biaya operasi yang rendah
b. Tariff bus yang terjangkau
c. Pelayanan yang memuaskan

Prioritas 2 – Sistem Moda Transfer

Jaringan bus melayani sebagian besar jumlah penumpang (bus conventional dan BRT: 25%). Di kota-kota besar sistem transportasi umum harus menyediakan rute jaringan jalan yang komprehensif, kapasitas yang memadai, frekuensi bus yang optimal (headway), dan jangkauan pelayanan dan tarif yang dapat mengangkut penumpang dari berbagai jenis latar belakang pendapatan dan tujuan perjalanan yang berbeda seoptimal mungkin, termasuk mereka yang dapat memilih melakukan perjalanan dengan mobil atau motor dan mereka yang sama sekali tidak dapat memilih menggunakan moda apapun.

Prioritas 3 – Kualitas pelayanan

Pelayanan yang diberikan harus aman, cepat, dapat dipercaya, nyaman, mudah, dan bertarif terjangkau, serta dampak terhadap lingkungan harus dapat diminimalisasi.

Prioritas 4 – Rute jarngan

Kecepatan dan ketepatan bus harus dapat ditingkatkan dengan menggunakan konsep bus priority, yang mana memprioritaskan bus untuk memiliki jalur khusus sehingga terhindar dari kemacetan, dan dapat mengambil rute-rute langsung, serta menghindari rute memutar yang dilakukan oleh sistem jaringan berputar 1 arah.

Prioritas 5 – Manajemen Operasional

Untuk memastikan bahwa pelayanan bus responsif terhadap perubahan permintaan penumpang dan penyampaian keinginan pengguna dalam perubahan kerangka kerja yang dibuat oleh pemerintah daerah, bus harus dioperasikan oleh perusahaan atau koperasi yang berorientasi terhadap keuntungan dan kinerja perusahaan (dalam banyak kasus : perusahaan swasta) dibawah sistem lisensi yang mendukung kompetisi.

Pelayanan dari moda transportasi yang berbeda harus diintegrasikan dengan jangkauan perpindahan moda yang mudah dan nyaman.

Langkah pertama untuk merealisasikan hal ini adalah dengan perubahan/transisi dari angkutan umum berukuran kecil (angkot) ke angkutan bus yang lebih besar, yang dioperasikan oleh perusahaan di bawah kontrak. Dampak sosial dari transisi moda ini harus dapat diatasi dengan hati-hati, karena secara sosial angkot telah menjadi sumber pendapatan dari ribuan orang di kota.

Besarnya kuantitas kepentingan pribadi, kapasitas institusi/kelembagaan yang terbatas, kurangnya keinginan berpolitik dalam menentukan tingkatan kebijakan tertentu, menjadikan sistem yang telah dibangun hanya memberikan keuntungan bagi beberapa kelompok orang saja, sementara kepentingan warga masyarakat terabaikan.

Peraturan transportasi yang baru berlaku (UU 29 / 2009) yang merefleksikan beberapa elemen kebijakan termasuk kebutuhan untuk memformalkan dan mengkonsolidasikan sektor bua perkotaan.

Di antara ketentuan perundangan baru tertulis bahwa kewajiban pemerintah daerah adalah untuk mengembangkan rencana transportasi yang komprehensif mencakup pelayanan bus yang berkapasitas besar

Di antara ketentuan peraturan baru yang mewajibkan pemerintah daerah menyusun rencana transportasi yang komprehensif termasuk pelayanan bus berkapasitas besar di jalan utama kota, pelarangan operasi kendaraan pribadi di dalam jalur tetap bus (art 139/4), dan rute pengoperasian bus berskala kecil yang terintegrasi dengan bus berkapasitas besar.

Hanya bus kelas ekonomi (didefinisikan sebagai bus non-AC) yang akan mendapatkan subsidi dari pemerintah (art 185). Hak operasional bus harus diberikan dengan proses yang kompetitif.

Prioritas 6 – Pengalihan moda (Transisi)

Ketentuan yang ada pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi eksisting yang ada, karena program pengalihan moda ini belum dikembangkan.

Pengalihan moda ini diarahkan agar visi dari kebijakan dapat tercapai sesuai dengan perundang-undangan. Perubahan ini akan menghasilkan pertambahan kebutuhan terhadap pelayanan bus yang cukup besar dan tinggi, seiring dengan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan pergantian ke moda transportasi umum dimulai.

Proses pengalihan moda ini membutuhkan banyak solusi sebagai pemecah masalah, sebagai berikut :
• mendefinisikan peran pemerintah (regulator) dan swasta (operator) dalam menyediakan jasa pelayanan bus
• strategi untuk mengurangi jumlah bus illegal dan minibus (angkot) illegal serta mengurangi dampak sektor paratransit
• memperkirakan besar subsidi yang dibutuhkan untuk jasa pelayanan bus
• insentif terhadap operator agar lebih efektif dan bertanggung jawab terhadap permintaan

Sejumlah kota-kota di Indonesia telah meresmikan sistem bus resmi menggunakan midi-bus yang diprakarsai oleh Kementerian Perhubungan dengan sebutan “Sistem Bus Transit”.

Namun, akibat dari pengetahuan mengenai sistem tersebut kurang, maka berpengaruh terhadap performa awal mereka. Demand penumpang dan pemulihan biaya operasi umumnya masih rendah karena adanya persaingan dengan angkot atau rute jaringan yang keluar dari rute utama angkot, sehingga sedikit sekali jumlah penumpang yang beralih ke moda bus ini. Frekuensi yang rendah / headway yang terlalu jauh mengakibatkan kebutuhan perjalanan penumpang menggunakan bus menjadi sedikit, hal ini hanya dapat diatasi dengan menerapkan sistem pengurangan operasi angkot seperti yang telah disebutkan sebelumnya.



Prioritas 7 – Kinerja Teknis

Juga terdapat beberapa masalah teknis yang dapat menghambat keberhasilan penggunaan bus sebagai sarana angkutan umum yang - jika berfungsi - akan sangat dibutuhkan kota-kota.

Desain tinggi platform pada bus seringkali menyulitkan dalam hal ketepatan pengkonstruksian tempat pemberhentian bus.

Harga sepeda motor yang murah, dengan skema cicilan dalam pembeliannya, ditambah dengan biaya operasional yang rendah, memberikan nilai saing yang sangat kuat, yaitu : sepeda motor memberikan transportasi yang lebih cepat, dan perpindahan yang langsung sampai di tempat tujuan dibandingkan transportasi umum lain dengan rute yang telah ditetapkan serta biaya perjalanan yang dikeluarkan dirasakan lebih murah daripada moda transportasi umum lainnya.. oleh karena itu, untuk bersaing melawan sepeda motor, pelayanan bus harus lebih cepat, mudah, dan dapat diandalkan.


Prioritas 8 – Pengaturan dan Pelaksanaan kebijakan

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan dari kebijakan-kebijakan yang disusun, yaitu:

• mengaplikasikan kebijakan nasional ini dengan program tindakan tertentu setelah melalui konsultasi
• konsep peraturan nasional yang berpengaruh terhadap ketentuan yang tercantum pada hukum (UU 22) dan tujuan kebijakan
• mengembangkan standar yang sesuai untuk macam-macam tipe pelayanan bus dan minibus termasuk standar yang telah direvisi untuk sistem transit bus

Kota-kota akan menyusun kebijakan kota, mengusulkan strategi daerah untuk manajemen dan pengembangan transportasi umum sesuai dengan pedoman yang tersedia.

Kebijakan-kebijakan kota akan menjadi dasar dalam penyusunan rencana transportasi yang harus dibuat oleh kota sesuai dengan undang-undang transportasi yang baru (UU 22 / 2009).

BSTP akan memandu kota-kota secara efektif dan realistis mengenai prosedur perencanaan transportasi umum.

Perencanaan kota ini harus mencakup beberapa hal sebagai berikut:

• peningkatan kualitas infrastruktur bus: terminal, skema prioritas bus, sistem pemantauan dan pelacakan, sistem tiket elektronik
• regulasi pengaturan yang memberikan rute yang aman sebagai bentuk performa yang memuaskan yang disertai dengan system operasi yang kompetitif
• strategi untuk mengurangi jumlah pengoperasian angkot disertai dengan penanganan dampak sosial terhadap pengemudinya sebagai akibat dari penambahan jumlah pelayanan bus resmi, antara lain dengan menawarkan rute baru sebagai rute pengoperasian angkot
• pemberlakuan system manajemen permintaan transportasi (TDM) yang mana mengarahkan demand pemilihan moda pada kendaraan umum, dimana pelayanan yang ditawarkan sudah dapat diandalkan


Prioritas 9 - Terminal

Sudah bukan menjadi keharusan lagi untuk bus perkotaan dioperasikan antar terminal (off street),akan tetapi hal-hal seperti ini seringkali menjadi kendala dalam penentuan rute bus. Pada umumnya, terminal berlokasi di lingkar luar kota, hal inilah yang menyebabkan jarak tempuh bus kota menjadi jauh. Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa untuk efisiensi yang lebih besar dan melakukan pemulihan biaya, maka rute bus sebaiknya dioperasikan secara radial yang mana berakhir/berterminal pusat di pusat kota. Untuk memudahkan sistem transfer/perpindahan penumpang (moda share), maka minimal satu atau lebih terminal bus harus dibangun dalam cakupan rute pengoperasian tersebut. Adapun pihak-pihak yang berwenang umumnya lebih memilih pembangunan terminal bus secara off-street. Pembangunan terminal ini bisa dilokasikan ditempat yang mempunyai bangkitan perjalanan yang besar, contohnya di dekat stasiun kereta. Jika terminal bus off-street tersebut tidak tersedia, maka sistem pengoperasian bus dengan rute radial ini diperbolehkan untuk transit atau berakhir di dalam jalur pengoperasian (on-street), yang mana keadaan ini bagaimanapun akan disertai dengan pengurangan jumlah beban kendaraan di jalan kota.

Aspek penting yang berkaitan dengan sistem pengoperasian bus adalah lokasi terminal yang tersedia harus seefektif dan seefisien mungkin dalam pemenuhan rute perjalanan penumpang, bukan di sembarang tempat kosong yang tersedia.

Secara implisit, kebijakan pengoperasian bus ini menegaskan bahwa beroperasinya sistem bus harus mampu mengembalikan biaya pengeluaran secara keseluruhan dari keuntungan yang didapat, namun jika tidak bisa mengganti biaya secara keseluruhan, maka setidaknya biaya operasional harus mampu dikembalikan.

Besarnya jumlah permintaan perjalanan di kota-kota di Indonesia dan badan swasta yang mendominasi subsidi dari pengoperasian bus ini menunjukan bahwa pemulihan biaya pengoperasian secara keseluruhan dapat dicapai, jika jaringan rute dan jadwal pengoperasian bus direncanakan secara efisien dan efektif, serta pengoperasian bus yang disediakan dapat berkompetisi dengan moda transport lainnya, sehingga dapat terus meningkatkan kualitas pelayanan dan tetap dapat menekan tariff dan biaya serendah mungkin.

Prioritas 10 – Perencanaan Terpadu

Berdasarkan pada kendala – kendala utama dalam mencapai tujuan jangka pendek dari sistem transportasi umum, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

• Penawaran sistem operasional yang menarik bagi para investor yang disertai dengan keuntungan-keuntungan yang kira-kira akan didapatkan, dengan menetapkan kerangka peraturan yang jelas dan mendukung, memberikan perspektif layanan yang dapat diandalkan untuk beroperasi di rute yang telah ditetapkan dengan system kompetisi yang baik, dengan jadwal operasi yang jelas , dan control tariff yang baik.
• Perencanaan rute seefektif dan seefisien mungkin, sehingga dapat terus ada, dimana dapat ditinjau dari titik bangkitan perjalanan yang dominan.
• Biaya perizinan (tariff dan truktur tariff) sebagai dasar perkiraan biaya. Subsidi jika diperlukan, sebetulnya hanya terbatas pada modal, bukan subsidi pada tariff (pengoperasian)
• Mengendalikan kompetisi dengan moda transport lain seperti angkot dan moda-moda publik lain, dengan lebih menerapkan peraturan yang lebh tegas.
• Memberikan jangka waktu operasi yang panjang untuk operator, (3-7 tahun, tergantung pada investasi yang ada)
• Penghargaan terhadap kualitas system pengoperasian dengan system tender yang kompetitif dan prosedur yang transparan.
• Memastikan hak pengoperasian dijamin oleh undang-undang dalam bentuk kontrak operasional secara jelas.
• mengendalikan kemacetan lalu lintas dan membuat jalur khusus untuk bus di tempat-tempat yang mempunyai bangkitan beban kendaraan yang tinggi, sehingga pada saat kemacetan terjadi, bus tetap dapat beroperasi dengan lancer dan sesuai jadwal.
• Mengintegrasikan system pengoperasian angkot ke dalam skema transportasi secara terpadu, yang mana bertindak sebagai feeder.
• menyediakan sarana yang memadai untuk pengembangan infrastruktur bus , seperti skema prioritas, terminal,dan tanah untuk depot
• meningkatkan kapasitas untuk perencanaan dan pengaturan secara efektif dalam system pemerintahan kota (Dishub, Bappeda, dll).


Prioritas 11 – Otoritas Sistem Transportasi

Otoritas dalam sistem transportasi adalah mencakup seluruh pemerintah kota untuk memadukan sistem transportasi secara keseluruhan, termasuk pengembangan kebijakan, peningkatan pendanaan dan pendapatan, pengembangan struktur fisik, system operasi, pemeliharaan dan manajemen transportasi.