Minggu, 08 Mei 2011

Action Plan

Pembiayaan

- Kondisi Saat Ini dan Permasalahan

Anggaran belanja pemerintah sebagai penopang anggaran belanja sektor transportasi, belum mencukupi kebutuhan perbaikan sarana dan prasarana transportasi berkelanjutan (sustainable). Pengajuan anggaran yang memperoleh persetujuan menjadi APBN hanya berkisar 7,8% - 13,7% Adapun anggaran pemerintah dalam hal ini kementeran perhubungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Pertumbuhan anggaran sektor transportasi tidak konsisten mengikuti pertumbuhan PDB, padahal pertumbuhan anggaran infrastruktur transportasi merupakan kunci pertumbuhan PDB.

Sektor swasta berperan lebih sebagai pendukung, sebagaimana ditunjukan oleh share sebesar 14,4% dari total pembiayaan pada tahun 2009, yang mana belum menjadi sektor utama pembiayaan


- Strategi

1. Perkuatan Pembiayaan Tingkat Kota

Ibu kota, provinsi, dan otoritas daerah tingkat lokal secara simultan mempunyai peran yang besar dan merupakan pihak-pihak yang berpengaruh terhadap sistem transportasi perkotaan, mulai dari perencanaan, peraturan dan pendanaan. Dalam kasus transportasi kereta api perkotaan cenderung dikelola secara terpusat, sementara pengoperasian bus-bus telah dikelola di sub daerah, oleh kota atau kabupaten.

Kurangnya koordinasi yang baik antar lembaga menyebabkan sistem yang kurang terstruktur, sehingga perlu adanya otoritas di setiap tingkat daerah, sehingga mempunyai koordinasi struktur yang lebih terkoordinasi dengan baik untuk tiap bagiannya. Otoritas transportasi akan sangat diperlukan terutama ketika sistem transportasi komuter mulai diterapkan.

Ketika otoritas sistem transportasi sudah terbentuk, maka pendanaan nya dapat disalurkan ke dalam sistem transportasi yang telah dirancang. Penerima manfaat pelayanan transportasi secara langsung adalah pengguna angkutan umum yang juga berkontribusi secra langsung dalam pembiayaan sistem nya dengan cara membayar tarif perjalanan.

2. Sumber Pembiayaan Pendukung

Adapun sumber pembiayaan pendukung untuk anggaran transportasi adalah :
• Pajak, meliputi pajak bahan bakar, pajak kepemilikan kendaraan, pajak parkir, pajak jalan, kemacetan, beban emisi, pajak penghasilan baik swasta maupun negeri, dan lain-lain
• Pinjaman dari bank atau lembaga donor dalam bentuk hibah dan pinjaman
• Sumbangan dari lembaga internasional atau dana bantuan bilateral

3. Transparansi Pengelolaan Kegiatan Operasional

Penerima manfaat sistem secara langsung, adalah mereka para pengguna sistem angkutan umum yang memberikan kontribusi dana dengan membeli tiket
Pengendara kendaraan pribadi harus mengikuti aturan pembiayaan sebagai pengguna jalan seperti pembayaran untuk road pricing dan tol serta biaya kemacetan biaya parkir. Selain memberikan dana untuk investasi angkutan umum, diharapkan adanya tindakan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan berpindah kepada penggunaan angkutan umum perkotaaan.

Penggunaan moda kendaraan tidak bermotor seperti sepeda, memberikan pendanaan (manfaat transportasi) melalui biaya sewa keamanan.

Dalam kasus angkutan umum, pendapatan dikumpulkan secara langsung disalurkan ke operasional moda transportasi, bahkan ketika pendapatan tersebut didistribusikan untuk menyamaratakan pendapatan. Dalam hal pendapatan yang berasal dari tol dan pajak yang dikenakan pada pengguna kendaraan pribadi, alokasi dana dapat disalurkan hanya jika pendapatan telah seusuai dengan target, yang mana kondisi tersebut tidak selalu terjadi, karena undang-undang tersebut belum memungkinkan adanya sistem pra-alokasi sumber daya. Oleh karena itu dianggap bahwa alokasi dana dialokasikan untuk moda transportasi umum perkotaan.

4. Pengelolaan Manfaat Pembiayaan

Penerima manfaat secara tidak langsung, adalah individu atau badan yang mendapatkan keuntungan dari adanya sistem transportasi tanpa harus menjadi penggguna sistem transportasi secara langsung, antara lain :

a. Aktivitas bisnis (kegiatan usaha), seperti pusat perbelanjaan, perusahaan- perusahaan, yang mana mendapatkan manfaat kemudahan dalam akses pemenuhan mobilitas perusahaannya, kemudahan akses ini diapatkan dari adanya inrastruktur dan sistem transportasi.
b. Pedagang dan warga setempat yang melihat nilai dari tanah dan lahan mereka dengan cara membangunsarana transportasi.

5. PPP (Public Private Partnership)

Ketika sistem transportasi perkotaan dibebankan untuk membuat kebijakan mobilitas, mengatur moda transportasi merencanakan investasi, serta pendanaan public maka akan menjadi bagian dari sistem secara keseluruhan dan berencana untuk beralih ke mitra lainny, khususnya sector swasta. Dalam situasi seperti itu, berbagai tingkatan pihak yang berwenang dapat berkontribusi secara terkoordinasi dan memenuhi peran mereka masing-masing,tetapi masih tetap dalam bagian dari proyek bersama.

Mengurangi resiko moda transportasi yang beroperasi secara tumpang tindih, bertentangan satu sama lain atau bahkan bersaing satu sama lain, sehingga dapat mengurangi resiko terebut.

6. Pembiayaan atas dasar Kerja Sama Beberapa Wilayah Perkotaan

Otoritas memiliki tugas untuk mengelola moda transportasi perkotaan di kota metropolitan atau aglomerasi perkotaan antara lain :
- Sistem angkutan umum dan infrastruktur jalan (fasilitas untuk jalan kaki, sepeda, bus dan moda jalan berbasis lainnya). Jika setiap kota mengelola wilayahnya sendiri, ini dapat menyebabkan kurangnya keterhubungan dalam sistem transportasi secara keseluruhan.
- Infrastruktur metropolitan yang melibatkan beberapa kota di wilayah metropolitan yang sama. Infrastruktur ini terdiri dari sistem rapid transit (BRT) dan trem, kereta serta kereta bawah tanah, yang dibiayai oleh daerah, federal atau pemerintah pusat yang bekerjasama dengan investasi sektor swasta (PPP).

Meskipun keseimbangan pada saldo operasi tercapa sesuai target, hal yang terjadi pada operator sistem transportasi baik itu publik ataupun swasta diusahakan untuk menemukan kesulitas keuangan mereka sendiri dan mengandalkan otoritas publik untuk menyelesaikan masalah keuangan mereka. Pihak-pihak tertentu dapat mencapai titik loba atau keuntungan, namun bagaimanapun juga mereka tetap harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan subsidi-silang dalam sistem transportasi.

Pengalaman menunjukan bahwa tarif angkutan merupakan hasil pertimbangan dalam hal untuk membiayai transportasi umum dan kemampuan pengguna untuk membayar. Tarif angkutan diatur oleh otoritas publik dan tidak selalu merefleksikan biaya sebenarnya, dan bervariasi berdasarkan pada kualitas layanan yang diberikan.

Otoritas publik akan membuat kontibusi pendanaan dalam beberapa cara, seperti :
- Dana kompensasi untuk alokasi tariff khusus untuk menegaskan kategori- kategori pengguna transportasi.
- Kompensasi kerugian pada akhir tahun. Dalam pengaplikasian subsidi tradisional, prusahaan tidak memiliki insentif untuk meningkatkan profitabilitas pembayaran/jasa mereka.
- Layanan pembayaran per jumlah perjalanan/trip atas dasr biaya operasional yang dinyatakan dan dilaporkan oleh perusahaan atau otoritas publik

Ketika biaya operasi dibentuk dibentuk oleh otoritas publik, perusahaan dapat termotivasi untukmeningkatan kinerja mereka dan mengurangi biaya operasional mereka melalui pemeliharaan preventif dan tindakan pelatihan staf (terutama driver), dll.

Untuk beberapa kasus otoritas publik dapat juga mengikat untuk pembayaran kompensasi atau kewajiban bersubsidi dalam hal produktifitas, pencegahan penipuan dan peningkatan kualitas layanan dengan menerapkan sanksi atau denda. Secara keseluruhan, terlepas dari metode yang dipilih, itu adalah demi kepentingan penguasa untuk memperkenalkan perjanjian layanan yang menetapkan hak dan kewajiban operator apakah mereka publik atau swasta.

7. Dana Hibah dan Pinjaman Lunak

Dana Pinjaman, adalah salah satu bentuk yang paling umum dari dana investasi yang digunakan oleh pemerintah daerah dan pusat. pemberi pinjaman, apakah publik atau swasta, nasional atau internasional, yang dalam pelaksanaannya akan memerlukan jaminan yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga publik (pemerintah pusat, bank komersial, dll) atau mekanisme lain seperti alokasi sebagian dari pendapatan harga untuk dana jaminan.

Namun, untuk saat ini tampaknya anggapan dan kebiasaan tersebut berubah, proyek-proyek transportasi perkotaan sekarang dipelajari oleh bank pembangunan nasional dalam kaitannya dengan dampak pada pembangunan ekonomi, kualitas kehidupan perkotaan dan perjuangannya dalam melawan perubahan iklim.

Kegiatan mereka dapat dideskripsikan dalam bentuk tindakan sebagai berikut :

1. Kredit ringan, yaitu kredit dimana kondsi persyaratannya lebih menguntungkan daripada pinjaman dari bank, dalam hal :durasi (pinjaman jangka panjang 15,20 bahkan sampai 30 tahun) suku bunga( bunga yang dibebankan lebih kecil dibandingkan bunga pinjaman di bank, dan masa tenggang sebelum pembayaran pertaman.
2. Hibah/ subsidi, sangat sering dibahas dalam kebutuhan pendanaan suatu penelitian atau untuk mendukung lembaga-lembaga untuk memperbaiki desian dan pengelolaan sistem transportasi. Selain bantuan keuangan langsung, keterlibatan lembaga donor adalah untuk memberikan kredibilitas terhadap proyek dan juga dapat menarik dukungan dari lembaga keuangan lainnya, khususnya perbankan, dan juga memfasilitasi penggalangan dana.
3. Alokasi modal bersama dengan lembaga-lembaga lain, seperti dengan bank pembangunan nasional, atau wilayah lain merupakan keuntungan yang akan memberi dampak pada bentuk kemitraan publik-swasta, PPP, yang mungkin akan menarik modal swasta ke dalam proses sistem operasionalnya (dilakukan berdaarkan keamanan dan jaminan hukum) serta diberi kredibilitas oleh adanya kehadiran sebuah lembaga pendanaan. Kondisi ini salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh Islamic Development Bank, Kreditanstalt für Wiederaufbau Jerman dan Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional.
4. Investasi langsung, dari sektor swasta yang dianggap sebagai sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan, seperti untuk pembangunan MRT.

- Evolusi

Evolusi untuk pembiayaan pada transportasi perkotaan ini dapat digambarkan seperti pada gambar di bawah ini :


1) Evolusi Pembiayaan Tingkat Nasional
• Kondisi pendanaan saat ini
Pendanaan sangat rendah. Pembiayaan Direktorat BSTP untuk membantu sektor transportasi perkotaan di 300 kota hanya sekitar 100 milyar/tahun. Anggaran tersebut bahkan tidak cukup untuk melakukan perawatan seluruh fasilitas perlengkapan jalan pada jalan-jalan nasional yang merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan sesuai PP 38/2007.
• Formalisasi Grand Design
Pembiayaan APBN telah secara maksimal mendanai seluruh rencana aksi dari Grand Design Transportation. Grand Design sudah disatukan sebagai kebijakan transportasi nasional sehingga pemerintah mewajibkan untuk mendanai seluruh komponen moda, erangkat manajemen dan regulasi yang berasal dari Grand Design ini.
• Implementasi “Ear Marking”
Pada tahap ini telah terjadi pembiayaan yang berasal dari pengendalian penggunaan kendaraan pribadi untuk investasi angkutan umum. Regulasi “Ear Marking” telah mempunyai keputusan tetap. Masyarakat yang tidak memperoleh kesempatan telah sepenuhnya diberi alternative angkutan umum yang bagus, efisien, nyaman, aman dan cepat, selain itu fasilitas Park and Ride juga tersedia dengan baik.
• Sektor Swasta
Tahap ini memberi kesempatan sektor swasta masuk ke dalam investasi. Sektor swasta member peluang pemerintah untuk mengalihkan anggarannya untuk memperluas wilayah kota yang belum mendapatkan fasilitas transportasi yang baik.

2) Evolusi Pembiayaan Tingkat Perkotaan
• Kondisi pendanaan saat ini
Kondisi pembiayaan saat ini tidak koheren. Pembangunan prasarana transportasi masih menjadi hal yang utama disbanding perbaikan sarana dan amanjemen lalu lintas
• Formalisasi Grand Design
Pada tahap ini, perkotaan sudah mengendalikan implementasi pembiayaan yang dibutuhkan oleh komponen Grand Design.
• Implementasi Manajemen Permintaan Transportasi (TDM)
Kota telah memaksimalkan pendapatan dari implementasi TDM, melalui parking management, Traffic Impact Control (TIC), dan tariff angkutan umum.
• Sektor Swasta
Tahap ini memberi kesempatan sektor swasta masuk ke dalam investasi. Sektor swasta member peluang pemerintah untuk mengalihkan anggarannya untuk memperluas wilayah kota yang belum mendapatkan fasilitas transportasi yang baik.

Penyusunan Regulasi

- Kondisi Saat Ini dan Permasalahan

Regulasi tentang grand design transportasi perkotaan belum diakomodasi secara maksimal oleh kelembagaan yang ada. Adapun beberapa regulasi yang mengatur mengenai transportasi di dalamnya adalah sebagai berikut :

• UU 22/2009 tentang LLAJ.
Undang-undang ini tidak menjelaskan mengenai penyusunan grand design perkotaan dalam bentuk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (JLLAJ) Perkotaan, termasuk ketentuan tentang Rencana Induk JLLAJ Perkotaan
• UU 26/2007 tentang Tata Ruang
Undang-undang ini berupa rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana (Pasal 17)
• UU 17/2007 tentang RPJPN
Undang-undang ini belum menempatkan kota sebagai basis pembangunan karena selama ini pembangunan kota masih dipandang sebagai bagian dari pembangunan wilayah. (Draft KSPN, Bappenas, 2010)
• Masterplane Transportasi Darat (2005)
 Modal Split : target yang direncanakan 60% menggunakan angkutan umum, 40% angkutan pribadi
 Arah pengembangan jaringan transportasi perkotaan :
- Transportasi perkotaan dikembangkan dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan antara sistem angkutan umum dan pergerakan kendaraan pribadi
- Pengembangan sistem angkutan umum dan pergerakan kendaraan pribadi dikembangkan secara terencana, terpadu antar berbagai jenis moda transportasi sesuai dengan besaran kota, fungsi kota, dan hierarki fungsional kota dengan mempertimbangkan karakteristik dan keunggulan karakteristik moda, perkembangan teknologi, pemakaian energi, lingkungan dan tata ruang

- Visi

Visi dari regulasi untuk angkutan perkotaan ini harus dapat memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut :
a. Memperbaiki pelayanan secara berkualitas, jujur, efisien, dan efektif
b. Meningkatkan koordinasi multi sektor
c. Konsisten terhadap semua pelaku sistem transportasi, seperti operator, regulator, dan pengguna

- Strategi

1) Koheren

Regulasi yang mana secara struktur terdri dari regulasi vertikal (pemerintah pusat-pemerintah daerah) dan regulasi horizontal (antar dinas/lembaga) harus berjalan dengan koheren dan mempunyai maksud bersama untuk kebaikan masyarakat :

 Peraturan yang koherensi di semua tingkatan lembaga, dari mulai Hukum Nasional (Undang-Undang) sampai ke peraturan local (PERDA dan Keputusan Walikota)
 Pelaksanaan dan penegakkan hukum
 Peraturan dan kebijakan yang akan dilaksanakan harus disesuaikan dengan kondisi nyata saat ini,
 Peraturan harus sejalan dengan kebijakan pengembangan transportasi kota dan daerah
 Perlu adanya koherensi dalam perkembangan peraturan nasional dan peraturan daerah
 Kebijakan dalam hal dana dan biaya perlu sejalan dengan peraturan nasional dan visi pembangunan transportasi perkotaan

2) Prioritas

Adapun peraturan-peraturan yang berkaitan mengenai prioritas pembangunan transportasi perkotaan, adalah :

 Kebijakan untuk memprioritaskan Angkutan Umum serta mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi
 Sistem tender angkutan umum (quality licensing)
 Kebijakan anti monopoli terhadap pelayanan angkutan umum perkotaan
 Sistem tender untuk penentuan rute dan jaringan trayek
 Kebijakan untuk mendorong penghapusan ojek, memberi kesempatan pengalihan usaha dan pengembangan ang-ling
 Kebijakan mendorong pengembangan angkutan barang perkotaan

3) Pembahasan

Peraturan-peraturan yang masih dianggap “issue” dan belum ditetapkan secara formal, perlu dibahas lebih lanjut, seperti dalam hal :
 Kebijakan untuk mendorong pejalan kaki
 Tender angkutan barang
 Subsidi angkutan umum perkotaan

Kesenjangan Peraturan (umumnya terjadi pada tingkatan lokal)
 Struktur industri (formasi Oligopoly, monopoli atau kompetisi)
 Dampak negatif dan dampak positif dari subsidi investasi
 Perbedaan kewajiban dan tanggung jawab yang jelas antara operator dan regulator dalam pengoperasian layanan bus (tariff, sistem pembayaran tariff, keamanan, dan perencanaan)

Jika dirincikan tiap komponen moda, maka regulasi yang diperlukan dalam mencapai transportasi perkotaan berkelanjutan ini, adalah sebagai berikut :

a. Regulasi untuk Bus

• peningkatan kualitas infrastruktur bus: terminal, skema prioritas bus, sistem pemantauan dan pelacakan, sistem tiket elektronik
• regulasi pengaturan yang memberikan rute yang aman sebagai bentuk performa yang memuaskan yang disertai dengan system operasi yang kompetitif
• pengoperasian bus harus terintegrasi dengan moda lain
• mengembangkan standar yang sesuai untuk macam-macam tipe pelayanan bus dan minibus termasuk standar yang telah direvisi untuk sistem transit bus
• Memastikan hak pengoperasian dijamin oleh undang-undang dalam bentuk kontrak operasional secara jelas.

b. Regulasi untuk Paratransit – Angkot

• Perlu adanya kebijakan mengenai kepemilikan angkot untuk menjadi formal dan berlisensi
• Mengintegrasikan system pengoperasian angkot ke dalam skema transportasi secara terpadu, yang mana bertindak sebagai feeder
• Kebijakan untuk bisa mengurangi jumlah pengoperasian angkot disertai dengan penanganan dampak sosial terhadap pengemudinya sebagai akibat dari penambahan jumlah pelayanan bus resmi, antara lain dengan menawarkan rute baru sebagai rute pengoperasian angkot
• Angkot mempunyai rute khusus yang tidak saling mengganggu atau bersaing dengan rute bus/BRT/MRT atau rute sesame angkot itu sendiri
• Kebijakan mengenai kualitas pelayanan dari sistem pengoperasian angkot, dan pengauditan secara rutin
• Menerapkan kebijakan “zona bebas angkot”, “zona bebas parkir angkot”, “zona berhenti khusus angkot”
• Adanya kebijakan dalam hal pengoperasian angkot, yang meliputi :
- Tidak menyediakan pelayanan transfer antar angkot (Non-transferable), lisensi rute terbatas
- Rute eksklusif, terpisah dari rute bus
- Ketetapan hanya untuk berhenti di tempat-tempat pemberhentian khusus yang telah disediakan
- Ketetapan untuk mengeluarkan tiket secara resmi
- Kualitas kendaraan yang masih dalam kondisi baik
- Inspeksi/pemantauan kelayakan kualitas kendaraan yang ketat
• Adanya penerapan sanksi yang tegas untuk pengoperasian yang tidak sesuai peraturan

c. Regulasi untuk Taksi

• Kebijakan pengkategorian jenis kendaraan taksi dari desain kendaraan
• Pengaturan dalam penetapan kalibrasi taksimeter
• Peraturan lisensi izin operasi

d. Regulasi untuk Ojek

• Membatasi penggunaan ojek, dengan meningkatkan sistem feeder angkutan umum berbasis angkutan kawasan tertentu (AKT) yang frekuensi pelayanannya tinggi, cepat dan berbiaya murah, dengan kapasitas angkut lebih besar dari ojek.
• Melakukan peningkatan sistem pelayanan minimal angkutan umum, melalui perbaikan sistem feeder angkutan umum.
• Mengatur pentarif-an dengan menetapkan formula tarif ojek dan menyusun mekanisme batas atas dan batas bawah sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat.
• Melakukan perbaikan prasarana jalan, khususnya perbaikan kualiktas disertai dengan pelebaran jalan lingkungan, sehingga akses angkutan umum dapat menjangkau wilayah yang lebih luas

- Perundang-Undangan
Penyusunan UU tentang Sepeda Motor, termasuk didalamnya mengenai operasional angkutan umum berbasis sepeda motor(ojek). Refer: Dhaka Urban Transport Policy (2005), maka: “The Government will undertake a review of the Motor Vehicle Act and will revise it to change the method of licensing and fitness testing of ojek so that both drivers and vehicles will require to pass Government prescribed regulations before being permitted to operate”.

e. Regulasi untuk Bus Rapid Transit (BRT)

• Penentuan sistem operasional BRT yang baik,meliputi jadwal, frekuensi, headway, occupancy, dan lain-lain.
• Penentuan koridor-koridor yang sesuai dengan titik titik demand yang krusial
• Penetapan peraturan terhadap pengguna BRT sebagai upaya untuk menjaga kualitas pelayanan

f. Regulasi untuk Kereta Api Perkotaan

• Pengembangan sistem operasional kereta api perkotaan
• Sistem Multimoda Kereta Api - Bus

g. Regulasi untuk Pejalan Kaki dan Kendaraan Tidak Bermotor (NMT)

• Kebijakan yang mengatur mengenai penyediaan jalur pejalan kaki seperti fasilitas jalan kaki, fasilitas penyebrangan jalan, fasilitas jembatan pejalan kaki, yang menghubungkan simpul-simpul antar moda
• Kebijakan yang mengatur mengenai penyediaan jalur khusus untuk NMT, seperti jalur khusus sepeda, gerobak, dan kendaraan NMT lainnya
• Adanya kebijakan untuk mengharuskan kebiasaan berjalan kaki

h. Regulasi untuk Transportasi Khas Lokal

• Adanya kebijakan mengenai pengoperasian pada lingkungan-lingkungan tertentu
• Kebijakan dalam hal kapasitas daya angkutnya
• Adanya kebiajkan mengenai pengalihan usaha dan penataan angkutan khas loal untuk pariwisata

i. Regulasi untuk Angkutan Barang

• Perencanaan ruang, kebijakan dalam sistem pengeceran dan lisensi bisnis
• Perencanaan dalam infrastruktur transportasi barang
• Kebijakan mengenai jenis kendaraan, registrasi kendaraan dan perpajakan
• Adanya kebijakan mengenai pengaturan distribusi lalu lintas komunitas angkutan barang
• Kebijakan mengenai kapasitas maksimum yang diangkut.

Kerangka Kelembagaan Transportasi Perkotaan

a. Kondisi Saat Ini

UU 22/2009 menegaskan bahwa “negara bertanggung jawab atas lalu-lintas dan angkutan jalan”, sedangkan “pemerintah melaksanakan pembinaannya” (perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan) (pasal 5 ayat 1-2). Lima kementerian berkumpul bersama memikul tanggung jawab pembinaan tersebut. Kementerian Perhubungan bertanggung jawab dalam pembinaan sarana dan prasarana lalu-lintas dan angkutan jalan (pasal 5 ayat 3). Salah satu indikator kemajuan pelayanan angkutan umum dalam bentuk ketersediaan angkutan massal yang berkualitas dijelaskan oleh UU 22/2009, “Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan” (pasal 158 ayat 1). Pasal ini menuntut pemerintah bekerja dengan sistem kelembagaan yang efektif agar maksud regulasi tersebut tercapai.

Sayang, kelembagaan yang lemah merupakan suatu sumber permasalahan yang menjadi sorotan dalam sistem transportasi perkotaan di Indonesia (World Bank, 2006) . Kelembagaan dalam sektor transportasi kurang berfungsi dengan baik karena kurang terorganisir, akibat tumpang tindih, pertentangan kepentingan, serta penegakan hukum yang lemah. Perizinan sebagai indikator efektifitas pelayanan birokrasi transportasi perkotaan masih perlu terus dibenahi (Tabel 1). Khusus dalam kelembagaan di tingkat daerah (kota), sumber daya yang tersedia saat ini sangat terbatas, baik berupa tenaga ahli maupun modal investasi. Meskipun demikian, di beberapa kota di Indonesia, pemerintah daerah sebagai regulator secara efektif mulai meningkatkan efektifitas kewenangannya melalui sistem organisasi efektif yang mampu melakukan pengendalian sistem transportasi perkotaannya .

b. Visi/ Pencapaian Tujuan

Visi individu dan kelembagaan yang ingin dicapai adalah:
•Mekanisme kelembagaan yang efektif (diisi individu yang bertaqwa, jujur, cerdas, santun, terbuka, lugas) dan optimal (target pencapaian jelas, koordinasi maksimal, kesalahan minimal, proses terukur, apresiasi tinggi).
•Koordinasi dalam perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi perkotaan (optimalisasi pelayanan angkutan umum, pembatasan kendaraan pribadi, perbaikan NMT, angkutan barang dan integrasi antar moda) berjalan maksimal.
•Mekanisme rentang kendali yang berjalan baik (vertikal dan horisontal) berjalan dengan efisien.
•Mencegah ekonomi biaya tinggi karena sulitnya perizinan dan pungli tetapi mendorong kemudahan investasi dan perbaikan pelayanan terhadap semua sektor moda transportasi perkotaan.


c. Strategi

Strategi perbaikan kelembagaan transportasi perkotaan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor sukses dan tahapannya. Strategi perbaikan kelembagaan dilakukan terhadap angkutan umum, angkutan barang, pembagian kewenangan pusat- daerah dan kelembagaan untuk investasi.

1. Faktor-faktor sukses kelembagaan angkutan umum

Manajemen angkutan umum yang efektif, dapat dicapai melalui :

• Perlunya sebuah kemauan politik yang sangat kuat secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari visi dan motto transportasi perkotaan yang jelas.
• Kerangka regulasi dan kebijakan yang memiliki dasar hukum untuk menetapkan kewajiban bagi stakeholder transportasi perkotaan, melalui mekanisme teguran dan insentif yang tepat. Kebijakan dalam bentuk Masterplan Transportasi Perkotaan harus tersedia dan secara bertahap dan konsisten terimplementasikan.
• Hukum yang koheren. Keseragaman kebijakan yang diambil dari atas mulai pemerintah pusat (menhub), pemerintah kota (walikota) sampai jajaran pelaksana dibawah seirama dalam implementasi prioritas pengembangan transportasi perkotaan.
• Pengawasan yang efektif. Pengawasan dilakukan terhadap tahapan perencanaan, administrasi, hukum, kelembagaan,keuangan dan manajemen melalui mekanisme yang transparan, tidak pandang bulu, rutin, teratur dan bertahap.
• Pemisahan fungsi kewenangan yang tegas dan jelas antara berbagai tingkatan hierarki atau lembaga yang terkait

2. Tahapan Evolusi Kelembagaan Angkutan Umum

Tahapan pengembangan instusional angkutan umum dilakukan dalam 4 (empat) tahapan, yaitu meliputi:

Tahap1: Kondisi eksisting institusi angkutan umum saat ini, dimana angkutan umum didominasi oleh angkutan individual. Angkutan umum berada di bawah proses perizinan dan pengawasan dari Dinas Perhubungan (Dishub) daerah. Dalam keadaan saat ini, perencanaan dan pengawasan operasional angkutan umum sangat lemah, karena kebijakan tidak mengikat kepada anggotanya.
Tahap 2: Tahap ini telah dilakukan konsolidasi dalam bentuk perkuatan legislasi, sehingga angkutan umum berbentuk perusahaan yang memiliki tanggung jawab yang lebih jelas, dan mengikat seluruh anggotanya. Pada tahap ini, Dishub sudah membentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) untuk menangani implmentasi penerapan SPM (standar pelayanan minimum) Bus, BRT, dan semua moda angkutan umum lainnya, melakukan kontrak perjanjian operasional dengan para operator (berbentuk perusahaan) termasuk melakukan pelelangan dengan dasar kualitas (quality based licencing).
Tahap 3: Tahap ini telah menempatkan satu badan berupa “management company” untuk melakukan proses impelmentasi SPM, lelang dan kontrak kepada seluruh operator angkutan umum. Outsourcing dilakukan karena sudah sedemikian kompleksnya persoalan yang ditangani oleh UPTD dan semakin tingginya tuntutan kualitas. UPTD memberikan kontrak pekerjaan kepada management company dalam bentuk penugasan dengan jangka waktu tertentu, dengan lelang atas beberapa peserta tender dengan dasar kualitas terbaik dan harga yang paling kompetitif.
Tahap 4: Tahap ini berupa pengembangan tahap 3, karena UPTD saat itu telah dikembangkan untuk melayani bukan saja angkutan umum tetapi juga menangani TDM (transportation demand management), sehingga memerlukan management company tersendiri

Proses evolusi institusional angkutan umum dijelaskan pada sub bab angkutan umum.

3. Pembentukan Otoritas Angkutan Umum

Pembentukan Otoritas Angkutan Umum dilakukan untuk mengatasi berbagai berbagai keterbatasan sumber daya, keterbatasan kemampuan administrasi dan tekanan politik pemerintah dalam jangka pendek. Otonomi memiliki kebebasan untuk mengelola sumber daya tersebut dengan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan.

Pengembangan transportasi wilayah aglomerasi, seperti Jabodetabek, Gerbang Kartosusilo, Mebidang membutuhkan kerja sama lintas perkotaan karena pelayanan transportasi harus menembus batas-batas kewenangan administratif. Pembahasan Otoritas Jasa Transportasi telah disinggung dalam penjelasan bab angkutan umum.

Otoritas Transportasi Perkotaan (OTP) merupakan kerja sama antar wilayah dengan sasaran mencapai target sebesar-besarnya bagi pelayanan transportasi terhadap seluruh wilayah (aglomerasi), menghindari ketimpangan antar wilayah dan membagi peran kerja sama dan pendanaan. OTP dapat membentuk Badan Kerja sama Angkutan Umum (BKAU, Public Transport Council) yang berada dalam tanggung jawab OTP. Peran OTP dan BKAU dijelaskan dalam skema sebagaimana pada gambar 1.

- Pembagian Tugas

Tugas dari pemegang pemerintah daerah, otoritas transportasi dan operator secara jelas didefinisikan sebagai berikut:

 Pemerintah daerah mengambil keputusan yang strategis, termasuk mengembangkan kebijakan angkutan umum yang komprehensif dan rencana implmentasi (action plan).
 Pemegang otoritas angkutan umum adalah komunikator antara pemerintah dan operator serta bertanggung jawab atas semua keputusan yang taktis, pada dasarnya menerapkan segala kebijakan pemerintah mengenai angkutan umum.
 Operator angkutan umum, baik milik pemerintah (BUMN) maupun swasta, merupakan pihak yang bertanggung jawab atas operasional dan tidak terlibat dalam perencanaan. Pemisahan tanggung jawab ini dilakukan untuk memastikan bahwa manfaat kompetisi sehat antar operator dapat benar-benar terjadi dalam koridor yang diarahkan, dibantu dan didorong secara sehat.
 Dewan pengawas independen, yang terdiri dari wakil dari pemerintah terpilih, operator angkutan umum, pengguna angkutan umum dan tokoh masyarakat (ulama) harus mengawasi pemegang otoritas untuk memastikan pengendalian atas seluruh kebijakan transportasi dan penggunaan dana untuk mendukung pengembangan pelayanan angkutan umum, tanpa adanya penyelewengan.



- Peran OJT dan PTC

Pembagian peran antara OJT dan PTC dikakukan melalui mekanisme:

a) Dibentuk di bawah arahan kementerian perhubungan.
b) Sumber daya berasal dari personil ahli transportasi dan berpengalaman dari beberapa kota/ pemerintah daerah
c) Fungsi utama OJT adalah untuk :
 mengkoordinasikan perencanaan transportasi pada tingkat pemerintah setempat yang tergabung ke dalamperencanaan transportasi daerah,
 melakukan penelitian dan survey untuk perencanaan transportasi,
 mengkoordinasikan penelitian di wilayah yang akan digunakan untuk perencanaan transportasi terpadu, dan
 menyusun perencanaan transportasi terpadu, termasuk pengembangan jaringan jalan, pengembangan rel kereta api (MRT, LRT dan kereta bawah tanah), manajemen lalu-lintas dan manajemen sistem angkutan umum
d) Public Transport Council, adalah sebuah organisasi yang dibentuk mengawasi permasalahan angkutan umum dan memiliki tanggung jawab utama untuk :
 merencanakan trayek angkutan umum sesuai dengan kebutuhan perjalanan (demand)
 menetapkan standard pelayanan minimum (SPM) pelayanan angkutan umum,
 menerbitkan izin dan mengontrol angkutan umum dengan izin trayek bus, izin usaha angkutan umum, izin pengembangan terminal bus, dan sebagainya,
 menetapkan rumusan tarif angkutan umum untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah
e) Sekretariat permanen dibentuk untuk mendukung komisi dan melakukan operasional sehari-hari. Pendanaan untuk komisi dan sekretariat harus dalam bentuk kontribusi dari anggota komisi

- Pendanaan

Kebutuhan pendanaan dapat dilakukan melalui pendapatan yang berasal dari road pricing dan biaya tambahan pada pajak bahan bakar dan kontribusi keuangan atau subsidi dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah daerah yang terkait.

Sebagai sebuah organisasi independen, bagaimanapun juga tugas utamanya adalah independen secara finansial dan perlu digarisbawahi bahwa info status keuangan adalah salah satu aspek yang paling penting. Sebagai perusahaan publik, juga dapat meningkatkan dana dari pasar modal dengan menerbitkan surat obligasi perusahaan .

4. Balai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

PP 38/2007 teleh menegaskan pembagian peran pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan sistem transportasi perkotaan. Tugas pembinaan transportasi pada jalan nasional berada pada kewenangan Kemenhub. Untuk merasionalisasikan pelaksanaan tugas tersebut agar dapat berfungsi dengan maksimal pemerintah perlu membentuk Balai Besar Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Tugas Balai Besar: melaksanakan perencanaan dan pengawasan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengendalian operasi dan pemeliharaan, pengendalian mutu dan pelayanan penyediaan bahan dan peralatan serta penatausahaan organisasi.

Fungsi Balai Besar LLAJ adalah:
• Penyiapan data dan informasi sebagai bahan penyusunan program penanganan lalu-lintas dan angkutan jalan nasional serta pelaksanaan perencanaan dan pengawasan teknis pembangunan prasarana lalu-lintas dan angkutan jalan
• Pelaksanaan konstruksi, pengendalian operasi dan pemeliharaan prasarana lalu-lintas dan angkutan jalan.
• Pelaksanaan penerapan sistem manajemen mutu dan pelaksaan konstruksi prasarana lalu-lintas dan angkutan jalan.
• Penyediaan, pemanfaatan, penyimpanan dan pemeliharaan bahan dan peralatan lalu-lintas dan angkutan jalan, serta pelaksanaan pengujian mutu konstruksi.
• Penatausahaan administrasi kepegawaian, organisasi dan tata laksana kerja, keuangan, barang milik/kekayaan negara dan urusan rumah tangga serta pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait.


5. Partisipasi Masyarakat

Unit Pemerintah tingkat lokal terkecil, seperti RT / RW dan kelurahan, ikut terlibat untuk memetakan kelayakan jalan lingkungan, yang meliputi kebutuhan akan trotoar, hambatan dan potensi untuk melakukan peningkatan jalan, perbaikan lapis permukaan jalan . perbaikan iklim skala mikro . Penyebaran dan integrasi dari proses pengembangan kebijakan termasuk beberapa kementerian yang memayungi sejumlah departemen pada kota dan tingkat provinsi. Menyelaraskan kebijakan antara para pelaku ini dianggap sebagai suatu kondisi untuk saling mendukung dan koordinasi yang diperlukan untuk keberhasilan menerapkan semua langkah-langkah kebijakan.

6. Institusi Pengelola Road Transport Fund

Road transport fund adalah dana yang diperoleh dari pengelolaan transport management tools (TDM, termasuk road pricing, parking management, dll). Masing-masing kementerian yang bertanggung jawab melakukan secara cermat upaya untuk memanfaatkan road transport fund untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor melalui perbaikan sistem pelayanan angkutan umum dan NMT.

Road transport fund dapat dimanfaatkan untuk membangun gas alam yang terkompresi atau bahan bakar gas cair yang tersedia untuk bus, taksi serta mobil pribadi , termasuk jaringan stasiun pengisiannya diperluas hingga skala nasional.

Institusi pengelola ditetapkan dengan UU meliputi tokoh-tokoh lintas kementerian dan para tokoh masyarakat yang amanah, dengan maksud agar mendahulukan kepentingan masyarakat umum, dan agar dana tersebut bukan hanya untuk kepentingan orang-orang kaya, khususnya fokus dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing pelayanan angkutan umum perkotaan, sehingga dapat menekan biaya transportasi.

7. Institusi Pengendali Dampak Transportasi

Kementerian yang bertanggung jawab atas masterplan transportasi perkotaan, perencanaan kota dan penggunaan lahan dan pemberian izin mendirikan bangunan memberikan dampak transportasi yang menjadi faktor penting sebagai bahan pertimbangan. Bangunan dengan ukuran yang lebih besar harus diberi upaya untuk meminimalkan dampak negatif lalu lintas di sekitarnya dan memberikan langkah-langkah untuk mengatasi perubahan pola permintaan transportasi .

8. Keseriusan Penegakkan Hukum

Kepolisian RI dan semua bagian lain yang terkait dalam penegakan hukum didorong untuk membuat sebuah sistem pencegahan pelanggaran peraturan lalu lintas, dan pengawasan “push” kendaraan pribadi meliputi upaya TDM, parking management dan road pricing.

Transportation Impact Control

a. Masalah dan harapan

Pembangunan fungsi lahan baru di kota-kota di Indonesia mengalami dilema yang dihadapkan pada dua sisi yang saling berlawanan. Disatu sisi merupakan pertanda baik bagi perkembangan ekonomi yang mulai dinamis, disisi lain hal ini juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kondisi memburuknya transportasi perkotaan.


Untuk mengatasi masalah memburuknya transportasi (kemacetan) akibat adanya pembangunan baru maka kota-kota di Indonesia telah memperkenalkan adanya Traffic Impact Assessment (TIA) atau yang sering disebut dengan Analisa Dampak Lalu Lintas (Andalalin). Namun dalam proses penerapannya dalam hal pencegahan dampak negatif dari transportasi masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan (lihat gambar contoh kasus).

Pengalaman dari berbagai kota menunjukkan mekanisme yang cenderung memakan waktu lama dengan biaya mahal, hasil yang subjektif, tidak transparan dan kurang bisa dibandingkan serta rawan akan tindakan korupsi. Karena itu diperlukan adanya suatu metode yang lebih komprehensif, efisien, cepat dan bisa dihandalkan untuk mendorong perkembangan ekonomi sehingga menjadi efisien tidak hanya secara finansial bagi para investor dan pengembang, namun layak secara makro untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan secara berkelanjutan.

b. Strategi dan Solusi

Untuk mengatasi permasalahan di atas memerlukan pengenalan secara menyeluruh sebuah mekanisme untuk mengendalikan dampak transportasi dalam tingkat administrasi kota maupun regional, tidak hanya dalam proses awal penerbitan lisensi dan izin pembangunan baru, tetapi juga pada saat pembangunan dilaksanakan dan kondisi operasional. Hal ini dapat dicapai melalui Pengendalian Dampak Transportasi”(TIC-Transportation Impact Control), diharapkan bisa memberikan solusi yang tepat.


Visi kedepannya di 2030 minimal ada 10 pemerintahan kota di Indonesia yang sudah bisa mengendalikan kulitas hidup di perkotaan dari dampak transportasi yang disebabkan oleh pembangunan baru dengan cara yang efisien dan dapat dihandalkan, meliputi :

•Pengawasan kondisi lalu lintas saat ini (volume dan level pelayanan)
•Pengawasan volume lalu lintas dan distribusinya dari proyek-proyek pembangunan yang disetujui
•Pengestimasian dampak transportasi pembangunan baru
•Kuantitas udara dan tingkat kebisingan (tahap lanjut TIC)
•Pengidentifikasian tindakan mitigasi yang akan menetralkan dampak
•Penyediaan dasar hukum yang dibutuhkan dan SOP (standar operating procedure) dalam proses TIC
•Pengawasan pelaksanaan langkah-langkah mitigasi yang disepakati
•Sosialisai isu-isu dampak kepada penduduk setempat di perkotaan

“Pengendalian Dampak Transportasi”(TIC-Transportation Impact Control), terdiri dari komponen strategis berikut ini:

1)Perencanaan iteratif
2)Landasan hukum yang memadai
3)Proses pengambilan keputusan yang politis
4)Analisa dampak transportasi
5)Standarisasi kriteria yang signifikan, serta sinkronisasi daftar mitigasi TDM
6)Standar untuk prosedur (terintegrasi dalam IMB dan analisa dampak lingkungan lain)
7)Kapasitas kelembagaan
8)Alat: model transportasi makro dan mikro serta rekayasa lalu lintas


TIC juga mampu memberikan solusi yang efektif dalam mengintegrasikan dan mengimplementasikan rencana penggunaan lahan dan rencana pengembangan transportasi lokal. Proses TIC harus cepat, efektif, rasional, murah, efisien, adil dan tranparan sehingga tidak menghambat proses pembangunan.

Prinsip-prinsip penting dalam TIC yaitu:

•Efisiensi ekonomi, biaya eksternal dan biaya sosial dimasukkan dalam perhitungan bisnis dan investasi
•“Pencemar membayar”, pelaku pembangunan baru membayar total biaya transportasi sesuai dengan dampak yang mereka akibatkan dengan berbasis ATG (bangkitan perjalanan keseluruhan yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor pribadi) dan LOS (derajat pelayanan lalu lintas)
•Integrasi dampak lingkungan transportasi (lalu lintas, kebisingan, perubahan iklim, bangkitan distribusi moda, dll)
•Pencegahan urban sprawl

Tahapan awal implementasi TIC harus mempertimbangkan:

•Dampak lalu lintas pada jaringan jalan
•Dampak transportasi pada distribusi moda
•Ingress/Egress Backups : panjang antrian dan lokasi antrian
•Keselamatan: studi tentang jarak pandang dan akses darurat
•TIC harus bisa diaplikasikan pada kondisi:
•Pembangunan baru (lahan baru,dll)
•Perubahan pembangunan (tata guna lahan dan intensitasnya)
•Respon terhadap keluhan dari warga sekitar


C. Tahapan

Perubahan dari kondisi saat ini ke yang akan datang membutuhkan proses yang dapat dibagi menjadi empat proses tahapan sebagai berikut:

Tahap 1: Pendahuluan - Dimulai dari konsep pengenalan TIC, pengumpulan dan harmonisasi kerangka kerja yang ada baik di tingkat pusat (UU, RPP, dll)maupun lokal (seperti Solo dan Bogor yang sudah mempunyai legal basis), screening dan persiapan legal basis, pelibatan stakeholder dalam isu ini serta peningkatan kapasitas instansi terkait secra bertahap, identifikasi study case, screening data base yang ada dan kompilasi data serta penyiapan prosedur standar.

Tahap 2: Lanjutan - Tahapan dilanjutkan dengan internalisasi konsep TIC di stakeholder, instansi dan masyarakat luas, yang akan diikuti oleh penetapan landasan hukum yang memadai serta penetapan standar. Proses sosialisasi pun mulai digalangkan untuk mendapat dukungan masyarakat luas serta peningkatan kapasitas yang dilakukan secara terus menerus. Data yang terkumpul akan sisusun dalam data base untuk kemudian didesain model transportasi yang makro maupun mikro serta mengharmonisasikan dalam tingkat nasional dan lokal. Upaya mitigasi TDM mulai diidentifikasi dalam tahap ini.

Tahap 3: Pra pelaksanaan - Tahapan ini mencoba untuk mengaplikasikan konsep di satu kota percontohan secara sederhana untuk melihat efektifitas dan kesiapan konsep TIC di lapangan. Dimulai dengan analisis model dalam suatu kota percontohan yang barengi dengan adanya simulasi dan proses implementasi sederhana, serta usulan mitigasi TDM berdasarkan draft standarisasi TDM. Kemudian review dilakukan untuk memperbaiki keseluruhan konsep yang ada.

Tahap 4: Pelaksanaan – Kota percontohan untuk aplikasi TIC diperluas sekitar 3-5 kota, kemudian diadakan evaluasi secara keselurahan dan menfinalisasi konsep TIC untuk siap diimplementasikan secara nasional

Daftar Isi GD Versi 7

A. Pendahuluan

B. Visi

C. Pendekatan Holistik


D. Komponen Transportasi Perkotaan
1. Angkutan Umum
(1). Bus
(2). Paratransit- Angkot
(3). Taksi
(4). Ojek
(5). Bus Rapid Transit (BRT)
(6). Kereta Api Perkotaan
2. Pejalan Kaki
3. Kendaraan Tidak Bermotor (Non Motorized Transport-NMT)
4. Transportasi Khas Lokal
5. Angkutan Barang

E. Manajemen Permintaan Transportasi (TDM)
1. Manajemen Parkir
2. Intelligent Traffic System (ITS)
3. Transit Oriented Development (TOD)

F. Dampak Transportasi
1. Pengendalian Dampak lingkungan
(1) Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
(2) Polusi Udara Lokal
(3) Polusi Suara
2. Traffic Impact Control (TIC)

G. Kerangka Kelembagaan

H. Penyusunan Regulasi

I. Pembiayaan

J. Action Plan

Dampak Lingkungan

F. Dampak Lingkungan
1. Pengendalian Dampak Lingkungan
Tingkat degradasi lingkungan hidup khususnya di kota-kota di Indonesia semakin parah yang turut memicu menurunnya kualitas hidup perkotaan. Beranjak dari visi Grand design yang mengarah ke pusat kota yang ramah pejalan kaki, sepeda dan dilengkapi fasilitas angkutan umum yang memadai, sub bab pengendalian dampak lingkungan ini diharapkan dapat memunculkan strategi yang dirancang untuk memutuskan hubungan antara pertumbuhan kendaraan, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk perkotaan yang naik secara signifikan terhadap pencegahan kenaikan dampak lingkungan dan kemacetan transportasi. Isu lingkungan yang akan dibahas lebih lanjut terkait dengan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), polusi lokal, dan kebisingan.


(1) Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
a. Kondisi dan permasalahan

Sektor transportasi merupakan konsumen terbesar energi primer di Indonesia dan menggunakan hampir separuh (48%) energi nasional pada tahun 2005. Hampir seluruh energi yang dikomsumsi di sektor transportasi jenis bahan bakar ini menghasilkan sekitar 67 juta ton CO2 (ICCSR, 2010). Bensin dan solar menghasilkan lebih dari 91% total sehingga mendominasi pasar bahan bakar transportasi.Ketergantungan besar terhadap bahan bakar transportasi menghasilkan emisi yang makin meningkat.


Pemerintah Indonesia sangat aktif dalam menghadapi isu ini, terbukti dari komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G-20 (25 September 2009), untuk mengurangi emisi sebesar 26% dari “busines as usual”. Bahkan Indonesia optimis akan mengurangi emisi hingga 41% jika ada bantuan Internasional. Komitmen Indonesia selanjutnya bisa dilihat dalam gambar berikut.

b. Strategi dan Solusi
Adanya pengenalan dan penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan menjadi kunci utama untuk memperbaiki sistem transportasi yang ada saat ini yang secara tidak langsung mempunyai co-benefit terhadap pengurangan emisi GRK. Selain itu kota-kota juga akan mengalami perbaikan kualitas udara, keselamatan bertransportasi, penurunan intensitas kebisingan, dan keuntungan ekonomi dan sosial lainnya. Maka dari itu berbagai manfaat lingkungan tersebut seharusnya dianggap sebagai kekuatan pendorong untuk menekan keberadaan kendaraan bermotor pribadi di pusat kota.


Strategi utama pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor meliputi ASI (Avoid-Shift-Improve):
1. Avoid (hindari – hindari atau membatasi perjalanan dengan kendaraan bermotor;
2. Shift (pindahkan – beralih ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan);
3. Improve (tingkatkan – meningkatkan efisiensi energy dan teknologi kendaraan bermotor) .

Gambar F.3 Instrumen Pengurangan Emisi Karbon
Untuk mencapai strategi tersebut maka diperlukan instrument-instrumen transportasi berkelanjutan yang dikategorikan ke dalam: (P) Perencenaan, (R) Regulasi, (E) Ekonomi, (I) Informasi dan (T) Teknologi. (lihat gambar 7.3).

Berbagai strategi dan instrument tersebut dapat diuraikan lebih dalam menjadi tingakatan aktifitas, kemudian bisa dipetakan berdasarkan ketiga strategi diatas (ASI). Setelah itu aktifitas tersebut dapat dikelompokkan satu sama lain menjadi suatu paket, sehingga nantinya mempermudah pemerintah pusat atau kota dalam membuat regulasi maupun kebijakan serta implementasi. Gambar berikut menjelaskan pengelompokan aktifitas-aktifitas ke dalam paket

c. Tahapan

Kerangka diatas memberikan usulan gambaran tentang tahapan perhitungan emisi GRK sampai upaya pelaksanaan kegiatan penurunan emisi GRK di sektor transportasi. Tahapan tersebut dibagi dalam empat tahap, yaitu (1) GHG emission baseline framework, (2) screening measures, (3) assessment dan (4) advice on implementation, dimana tiap tahap mempunyai elemen-elemen tersendiri. Pada tahap 1 dan 2 dapat dilaksanakan secara parallel tanpa harus menunggu tahap 1 selesai. Kesuksesan tahapan ini sangat ditentukan oleh komitmen pemangku kepentingan dan kesadaran serta tanggung jawab masyarakat dimana secara tidak langsung tahapan penurunan emisi GRK ditransportasi perkotaan ini dapat memperbaiki keseluruhan sistem transportasi di Indonesia, sebagaimana detail upaya tersebut sebagian besar sudah terangkum di bab sebelumnya yaitu “Komponen Transportasi Perkotaan” dan “TDM”.

(2) Polusi Udara Lokal
a. Kondisi saat ini dan permasalahannya
Kualitas udara di wilayah perkotaan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam dua dekade terakhir seiring dengan peningkatan urbanisasi, pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor yang mencapai 12 % per tahun . Sektor transportasi sendiri merupakan sektor yang paling banyak (mencapai 87%)2 menyumbangkan polusi udara yaitu memproduksi hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan partikulat (PM10).


b. Strategi dan Solusi


Upaya-upaya strategis yang telah dibahas dalam pengurangan emisi GRK, secara tidak langsung juga telah mengurangi polusi udara lokal, namun bagian ini lebih menekankan pada pengendalian polusi kendaraan bermotor untuk mencapai kualitas udara yang baik sesegera mungkin melalui teknologi yang efektif, dan program yang layak secara ekonomi dan social.

Strategi komprehensif untuk mencapai tujuan tersebut yaitu melalui empat komponen utama: (1) menigkatkan standar emisi yang ketat untuk kendaraan baru; (2) spesifikasi untuk program bahan bakar bersih; (3) program inspection dan maintenance (4) perencanaan transportasi dan manajemen permintaan transportasi.

1. Standar emisi, menetapkan regulasi standar emisi yang ketat untuk kendaraan bermotor yang standarnya terus meningkat seiring waktu (contoh: EURO 4 di tahun 2015). Pemerintah propinsi atau kota bisa menentukan ambang batas standar emisi misalnya melalui pembatasan zona dan pengawasannya melalui pemerikasaan lapangan secara random

2. Inspection & Maintanance (I&M) dan kelaikan jalan
• Memperkenalkan sistem I&M ke masyarakat jauh sebelum peraturan diberlakukan.
• Pembentukan dasar hukum I&M dan kelaikan jalan yang jelas dan tegas dalam:
 keterlibatan sektor swasta dalam menjalankan I&M yang efektif
 Struktur pengenaan sanksi, denda dan verifikasi
 Hukuman pelaku korupsi
 Pemberian rangsangan kepada pemilik kendaraan yang bagus (emisi rendah, mesin bagus) untuk memberikan keringanan pajak, dan memberikan denda yang lumayan besar terhadap kendaraan yang bermasalah.
• Sistem automatik (komputerisasi terpusat) yang saklek untuk penentuan kegagalan dan kelulusan tes sehingga mengurangi resiko penentuan secara manual
• Pengembangan data managemen sistem untuk I&M yang memastikan data terkumpul automatis dan tidak memungkinkan celah untuk manipulasi data
• Uji kelaikan jalan hendaknya dilakukan oleh instansi swasta dibawah pengawasan pemerintah dan unit inspection dan maintenance hendaknya dikelola oleh dua instansi yang berbeda dengan sistem terpusat.
• Pengkombinasisn I&M dan uji kelaikan jalan dengan registrasi tahunan kendaraan
• Instansi luar khusus untuk mengaudit pelaksanaan I&M
• Peksanaan inspeksi mendadak di lapangan untuk mengontrol kendaraan yang beredar di lapangan.
• Capacity building untuk staf pemerintah dan staf teknis di lapangan, baik dalam hal teknis maupun perawatan alat, mesin dan bengkel.

3. Program bahan bakar bersih dan teknologi kendaraan
• Catalyc conventer
• Standar kualitas bahan bakar
 ditentukan oleh pemerintah khususnya melalui instansi terkait seperti Kementrian ESDM
 pelepasan subsidi bahan bakar akan memunculkan persaingan yang lebih baik di pasar terhadap kualitas bahan bakar
• Penggunaan mesin 4 tax, untuk kendaraan roda dua dan tiga
• Pengantar alternative bahan bakar
• Eco driving

4. Perencanaan dan manajemen permintaan transportasi (sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya TDM)

5. Lainya:
 Evaluasi dan perbaikan kebijakan dan program kerja yang ada;
• UU No. 22 belum meregulasi kendaraan bermotor pribadi untuk secara berkala melakukan I&M, namun pemerintah daerah saat ini sudah bisa meregulasi sesuai kewenangan wilayahnya
• Mengintegrasikan program kerja Wahana Tata Nugraha dan Program Langit Biru
(3) Polusi Suara

a. Kondisi saat ini dan permasalahannya
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang melintas di jalan khususnya di perkotaan turut meningkatkan polusi kebisingan di perkotaan. Walaupun terkadang tidak disasari, kebisingan merupakan salah satu masalah lingkungan yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dampaknya akan dirasakan oleh kesehatan dalam jangka panjang. Karena itu diperlukan adanya batas dan control terhadap kebisingan, khususnya yang diakibatkan oleh aktivitas transportasi.
Berdasarkan konsensus, batas ambang yang bisa dikatakan kebisingan dimulai pada 55 – 60 dB (A) dan 60 – 65 dB (A) sudah bisa dikatakan gangguan oleh pendengaran manusia . Tingkat kebisingan bisa berasal dari sumbernya (factor kendaraan, volume lalu lintas, kecepatan, komposisi lalu lintas dan perkerasan jalan) dan path (udara, bumi, tumbuhan, pembatas kebisingan, dan jarak).


b. Strategi dan Solusi
Kebisingan lalu lintas dapat ditangani melalui 6 strategi berikut:
a. Petetapan standar kebisingan, direkomendasikan untuk lingkungan atau kawasan tertentu (sekolah, rumah sakit, pemukiman, dll) dan zona-zona (kota, perkotaan, luar kota, pemukiman dan industri)

b. Pengawasan kendaraan bermotor (vehicular measures)
• Regulasi kendaraan baru
• Regulasi I&M untuk tingkat pusat, propinsi dan lokal (lihat pembahasan “polusi udara”)
c. Pengawasan tata guna lahan
Lihat ukuran pendekatan pada polusi udara (pencegahan ----> tata guna lahan)
d. Manajemen Lalu Lintas
• Pembatasan kecepatan (30km/h)
• Penggunaan vehicle horns di lokasi tertentu
• Pelarangan akses kendaraan berat di jalan-jalan tertentu
• Lampu lalu lintas yang terintegrasi
e. Desain dan perawatan jalan (Open-graded asphalt, dll)
f. Desain dan geometri jalan
Mengintegrasikan perencanaan mitigasi kebisingan dalam proses perencanaan akan menghasilkan perencamaan yang komprehensif dan efisien. Misalnya kerangka rencana pengembangan perkotaan, tata guna lahan, pengembangan transportasi, pengembangan landscap, perencanaan regional dan nasional lainnya sangat dianjurkan untuk memasukkan unsur transportasi dan lingkungan di dalamnya.
Dalam konteks ini, isu-isu non-teknis berikut ini dapat dipertimbangkan pada saat awal proses perencanaan tindakan mitigasi kebisingan:

a) pendekatan organisasi (non-teknis), termasuk koordinasi internal, kerjasama dengan pihak luar, hubungan masyarakat dan partisipasi stakeholder dalam pelaksanaan dan pengelolaan strategi penanganan kebisingan.
b) pendekatan strategis (non-teknis) meliputi:
• Pengalokasian dana untuk strategi pengurangan kebisingan secara menyeluruh
• Pengembangan pusat untuk informasi dan dokumentasi
• Strategi untuk pengurangan kebisingan di tingkat lokal,regional dan nasional

Intelligent Traffic System (ITS)

Intelligent Transportasi System (ITS) atau dalam bahasa harfiah sistem transportasi pintar menerapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk transportasi. Komputer, elektronik, satelit dan sistem sensor memainkan peran utama di dalam sistem transportasi ini. Inovasi utama nya adalah menyatukan sistem transportasi yang sudah ada menjadi lebih terintegrasi dan terpadu untuk dapat menciptakan suatu pelayanan yang baru.

ITS merupakan suatu instrument sistem transportasi yang dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan dalam berbagai kondisi. ITS dapat diaplikasikan di setiap moda transportasi (jalan, rel, udara, dan air) dan pelayanan dapat digunakan untuk pengangkutan penumpang dan barang.
Pengaplikasian ITS dalam sistem transportasi dapat dijadikan sebagai alat yang efektif untuk lebih meningkatkan daya saing angkutan umum sehingga dapat meningkatkan nilai mobilitas perjalanan dan mengurangi dampak negative dari lalu lintas.

Secara umum, tujuan dari pengaplikasian ITS ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi dalam kota. Sebagai bagian dari rencana sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan, ITS merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi angkutan umum.

Masalah yang terdapat dalam sistem transportasi perkotaan yang dharapkan dapat terpecahkan dengan diaplikasikannya ITS adalah sebagai berikut.
• Lemahnya pelayanan transportasi yang terpadu;
• Rendahnya kualitas informasi untuk penumpang, termasuk informasi waktu perjalanannya;
• Pengelolaan transportasi public yang kurang efisien;
• Rendahnya kualitas pelayanan multi moda dan pelayanan pada angkutan umum;
• Rendahnya tingkat interaksi antara transporasi public dan swasta;
• Penurunan tingkat kompetisi angkutan umum dengan kendaraan pribadi, yang mana pelaku perjalanan masih lebih memilih angkutan pribadi dibandingkan dengan angkutan umum dalam melakukan perjalanannya.


Ruang lingkup ITS dalam pengembangan sistem transportasi mencakup 11 kelompok pemanfaatan :
1. Informasi perjalanan (travel Information)
2. Manajemen lalu-lintas dan operasi (traffic management & operations)
3. Kendaraan (vehicle)
4. Angkutan barang (freight transport)
5. Angkutan umum (public transport)
6. Keadaan darurat (emergency)
7. Pembayaran elektronik (transport related electronic payment)
8. Keselamatan angkutan di jalan (road transport safety)
9. Masalah cuaca dan kondisi lingkungan (weather and environment conditions).
10. Pengelolaan tanggap bencana (disaster response management).
11. Keamanan transportasi nasional (national security)

Arsitektur ITS
Perencanaan arsitektur ITS untuk sistem transportasi berciri khas Indonesia dilakukan dengan prinsip:
 Melakukan justifikasi teknologi ITS sesuai dengan kapasitas ketersediaan teknologi, kendaraan, prasarana dan pengguna jalan. Tidak langsung mengadopsi sistem negara lain, melainkan dengan pengkajian yang mendalam [careful examination and adaptation]
 ITS harus dipilih dengan kriteria:
1. Terjangkau (investasi dalam pembangunan dan perawatan)
2. Kompatibilitas dan integrasi teknologi yang lebih mudah (national interoperability and integration easier)
3. Kelayakan teknis (technical capabilities

Strategi Pengembangan ITS
Upaya pengembangan ITS untuk sistem transportasi perkotaan dilakukan melalui strategi antara lain:
1. Tahap awal, “First things first”: memastikan kondisi alat pengatur instruksi APILL handal, mencegah terjadinya kerusakan APILL akibat mati listrik, kerusakan setting, kabel dan seluruh peralatan layak operasi. Disamping itu harus dilakukan setting lampu untuk memberikan jaminan keamanan bagi para pejalan kaki. Untuk menjaga kelayakan alat, masalah perawatan APILL dapat dilakukan menggunakan outsourcing


2. Arsitektur ITS Standar Nasional. Penyusunan Arsitektur ITS Standar nasional pelru segera disusun sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan diatas. Untuk memudahkan pilihan penyusunan tersebut dapat dilakukan melalui:
a. Menggunakan pilihan pasar terbuka, mencegah monopoli satu vendor untuk perangkat keras dan perangkat lunak.
b. Pembangunan skala besar yang dapat menekan biaya.
c. Konsistensi informasi
d. Mendorong investasi untuk meningkatkan kompatibilitas sistem.
3. Menjamin adanya inter-operability, agar dapat digunakan secara bersama oleh berbagai pabriukan dan penyedia jasa.
4. Fokus pengembangan, diterapkan untuk penekanan pada:
a. Pengembangan angkutan umum
b. Peningkatan keamanan bagi pejalan kaki
c. Penataan manajemen lalu-lintas


1. ITS untuk pengembangan angkutan umum dikembangkan dengan berbagai sasaran meliputi:
• Bagi operator: melakukan penataan skeduling, dispatching, mencegah penumpukan di satu lokasi dan lokasi yang lain terjadi kelangkaan angkutan umum.
• Informasi bagi para pengguna perjalanan untuk kepastian kedatangan dan keberangkatan di halte atau terminal.
• Pengaturan operasional bus dengan mendasarkan atas tingkat kedatangan (demand responsive).
• Keamanan (security) dari pihak yang membuat pencurian, keonaran, pelecehan seksual dan perbuatan iseng yang mengganggu.
• Tracking posisi bus melalui pusat kendali (control room).
• Sistem tiketing, dan arus uang, untuk mencegah adanya kebocoran dan pengolahan data keuangan secara real time.
• Memberikan keamanan bagi para pengguna yang cacat, manula dan wanita hamil dapat memperoleh tempat duduk.
• Proses keamanan apabila bus mengalami gangguan atau kecelakaan.
• Mengukur tingkat pencemaran kendaraan, khususnya pencemaran udara dan polusi suara. Deteksi masalah yang dilakukan dapat memberikan solusi pemecahan secara dini
Kota-kota di Indonesia perlu mengadopsi perkembangan ITS untuk 3 sasaran utama yaitu : angkutan umum, NMT dan manajemen lalu-lintas.

ITS pada transportasi perkotaan memiliki 4 landasan dalam upayanya untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan lalu lintas, yang mana hal ini dijelaskan dalam berbagai jenis bentuk kebijakan sebagai berikut :
- Berbagai ukuran manajemen lalu lintas telah disurvey di lapangan melalui simulasi, seperti prioritas bus di perhentian lampu lalu lintas dan deteksi lokasi kendaraan secara otomatis. Panduan manajemen ini akan dirumuskan pada sistem operasi amnajemen lalu lintas yang terpadu yang efektif antara bdan manajemen angkutan umum dengan operator angkutan
- Pemantauan secara manual mengenai pergerakan transportasi barang dan penumpang yang mana mempunyai perbedaan sistem operasi angkutan masing-masing. Sebagai contoh sistem yang terdistribusi pada saluan komunikasi dan pelacakan kargo umum.
- ITS akan fokus pada metode manajemen kecepatan. Hal-hal yang telah dipelajari sebagai elemen penting untuk menunjang manajemen kecepatan ini diperlukan sebagai penyediaan informasi lalu lintas. Simulasi kecil-kecilan juga perlu dilakukan, hal ini dapat membantu mengoptimalkan manajemen lalu lintas dan sistem informasi pengemudi
- Pusat pengendalian manajemen transportasi sangat dibutuhkan dimana situasi lalu lintas dapat dimonitor dan ketika bermasalah dapat menentukan langkah yang tepat secara langsung. Semua rincian pengoperasian lalu lintas akan diproses dan diproyeksikan secara visual dari kamera. Kontrol untuk semua sistem lalu lintas akan dikelola da diproses di pusat pengendalian manajemen transportasi tersebut. Untuk kurun waktu 20 tahun ke depan kebijakan dan strategi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :

Tabel E.5 Time Frame Aplikasi Intelligent Traffic System

Transit Oriented Development (TOD)

- Kondisi Saat Ini dan Permasalahan

TOD adalah peruntukan lahan campuran berupa perumahan atau perdagangan yang direncanakan untuk memaksimalkan akses angkutan umum dan sering ditambahkan kegiatan lain untuk mendorong penggunaan moda angkutan umum.


Peruntuan lahan sekitar stasiun BRT/MRT dikembangkan dengan perbedaan tingkat kepadatan.


Pengembangan wilayah berbasis TOD belum banyak dilakukan di perkotaan Indonesia. Rencana TOD di stasiun Manggarai belum terbukti sampai saat ini, begitu juga dengan stasiun Kota dan Dukuh Atas di Jakarta. Namun, pengembangan TOD yang masih terbatas sudah banyak dilakukan, namun tidak berdampak luas karena tidak sinerginya ke-4 faktor, yaitu :
1. Mixed-use
2. High Density
3. Akses Kendaraan Tidak Bermotor
4. Dekat dengan Stasiun MRT/BRT

- Strategi

a. Perkuatan Pelayanan Angkutan Umum Berbasis MRT/BRT

Pelayanan angkutan umum massal menjadi daya tarik karena perjalanannya akan lebih cepat, mudah, hemat energi dan ramah lingkungan. Pengembangan MRT di Curitiba (Brazil) dan Sengkang (Singapura) adalah salah satu pengembangan TOD yang sukses.

Jalur Mass Rapid Transit ini merupakan tantangan baru bagi para arsitek yang diminta untuk mengintegrasikan stasiun transit dengan desainnya.


Namun pengembangan tersebut harus djaga supaya tidak menimbulkan pemekaran kota (sprawling). Inggris telah membangun green belts dimana menjaga kawasan tetap 16.000 km2.


b. Penataan Tata guna Lahan

Pendekatan perencanaan perkotaan menuju pada pembentukan kepadatan dan penggunaan bersama dan mendapatkan kembali ruang untuk pejalan kaki dan sepeda dengan tujuan untuk mengalihkan permintaan perangkutan ke moda kendaraan tidak bermotor.

Menciptakan kepadatan dan fungsi bersama di daerah sub-perkotaan yang luas akan mengarah ke sub-pusat dimana terjadi banyak aktivitas dan kebutuhan sehari- hari masyarakat: perkantoran, permukiman, pendidikan, hiburan, fasilitas publik, pusat perbelanjaan, dll.

Sub-pusat ini memiliki prioritas paling tinggi untuk dihubungkan dengan distrik pusat bisnisdan diantaranya dengan skema mass rapid transit, seperti kereta ringan / MRT atau jalur BRT.


c. Perbaikan Fasilitas NMT

Mobilitas warga kota akan ditingkatkan dengan penerapan konsep pejalan kaki yang intensif, dengan menyediakan trotoar luas, nyaman, terlindung, dan aman dari banjir. Kemudian akan ditinggikan lagi pada masa yang akan datang, berpindah dari satu gedung ke gedung lainnya, sepanjang atau melalui kota-kota modern di Indonesia yang akan memiliki ruang publik tingkat dua dan tingkat tiga yang berada di atas jalan-jalan penuh sesak dan rawan banjir menjadi tempat transit pejalan kaki.

Alun-alun kota dan tempat-tempat semi-publik pada beberapa tingkat terlindung lanskap yang lebih tinggi atau taman gantung akan menjadi fitur arsitektur yang terkenal untuk pusat kota karena mampu menghubungkan bangunan dengan masyarakat, jalan, dan struktur lingkungan.

d. Investasi Lahan TOD

Pada perkembangan selanjutnya sektor swasta dan publik ditingkatkan dekat dengan akses transportasi umum, yang berada di sepanjang koridor dan stasiun moda transportasi, terkonsentrasi dan kepadatan di sekitar yang menghubungkan stasiun.
Pengembang dan investor akan setuju untuk menyediakan dana tambahan karena yang membuat gedung tersebut mampu menghasilkan adalah terhubungnya gedung dengan transit massal, baik itu dari sisi pejalan kaki maupun kereta.

Konektivitas menjadi bagian paling penting dari suatu gedung, sebagaimana masing-masing fungsi hanya akan berhasil jika warga masyarakat mendapatkan cara termudah, teraman, tercepat dan bertingkat, kering, dan permukaan lantai yang kuat, paling nyaman, secara alami terkendali terhadap iklim dan memiliki tempat terlindung terhadap ruang.

Jembatan pejalan kaki – hal ini mencirikan elemen kota masa depan – menyediakan jalur pejalan kaki dari satu gedung ke gedung lain pada saat yang sama sebagai tempat bertemu, area peristirahatan, tempat observasi, dan pusat perbelanjaan.

- Proses Evolusi Kebijakan TOD

Adapun proses evolusi kebijakan TOD dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :


Tahapan – tahapan :
Tahap 1 :Memperkuat investasi publik dalam angkutan umum dengan memastikan bahwa pengembangan angkutan umum berpusat pada stasiun
Tahap 2 : Mengetahui bahwa area stasiun adalah daerah khusus dan seluruh wilayah yang berada di sekitarnya berkesempatan untuk mengembangkan pembangunn tradisional.
Tahap 3 : Mengambil kesempatan yang diberikan oleh angkutan umum untuk mempromosikan TOD sebagai bagian dari strategi manajemen pertmbuhan yang lebih luas
Tahap 4 :Rezoning daerah-daerah yang berpengaruh di sekitar stasiun untuk hanya menggunakan moda angkutan umum dalam melakukan perjalanannya
Tahap 5 :Fokus pada investasi instansi publik dan uapaya perencanaan di daerah stasiun dengan peluang pembangunan terbesar
Tahap 6 :Membangun broad-based core untuk mendukung TOD melalui pejabat-pejabat terpilih, staf pemerintah daerah, pemilik tanah, dan lingkungan
Tahap 7 :Menyiapkan kerangka kerja mandiri untuk lebih mempromosikan TOD setelah perencanaan selesai.

Selasa, 03 Mei 2011

Manajemen Parkir

- Kondisi saat ini dan permasalahan

Parkir sebagai instrumen manajemen kebutuhan transportasi (TDM) di kota-kota mengalami pertentangan paradigma antara ‘kelancaran lalu-lintas” dengan “meningkatkan pemasukan keuangan daerah (PAD)”. Kondisi pelayanan parkir yang tidak baik memberikan gangguan sangat berarti bagi sistem lalu-lintas secara keseluruhan dan menghasilkan kebocoran yang sangat signifikan (Koalisi TDM, Jakarta, 2008). Laporan ADB “Kebijakan Parkir di kota-kota Asia” (PA Barter 11/2010) menjelaskan secara umum, permasalahan parkir di kota-kota Asia termasuk Jakarta adalah lemahnya penegakan hukum dan rendahnya tarif parker.

Masalah parkir di perkotaan secara rinci yang dialami perkotaan di Indonesia adalah:
• Terganggunya arus lalu-lintas menerus akibat arus keluar-masuk parkir on-street dalam bentuk efek blocking.
• Lemahnya akses parkir off-street dan tidak terkoordinirnya sirkulasi arus lalu-lintas internal dan eksternal.
• Tidak seimbangnya permintaan (demand) dengan ketersediaan (supply) pada waktu tertentu (jam puncak), lokasi tertentu (pusat kota).
• Ruang parkir menutup kemudahan pergerakan pejalan kaki.
• Manajemen keuangan pengelolaan parkir on-street.
• Tidak tersedianya SPM untuk parkir on-street dan off-street.
• Kurang berkembangnya fasilitas park and ride untuk mendukung perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke angkutan umum missal

- Tujuan manajemen Parkir
Tujuan pengelolaan parkir adalah untuk:
• Meningkatkan kinerja arus lalu-lintas yang lancar dan tertib.
• Meningkatkan aksesibilitas parkir yang bagi pengguna (custumer, visitor, resident, emergency vehicles, public transport, handycap person).
• Memberikan pelayanan yang baik, sehingga terjadi perpindahan dari pengguna kendaraan pribadi ke pengguna angkutan umum dan pejalan kaki.
• Pelayanan dengan diutamakan pada aspek keselamatan dan keamanan lalu-lintas.
• Pengelolaan yang amanah, jujur, profesional, tercegah dari kebocoran keuangan.
• Pelayanan parkir yang memungkinkan menurunkan tingkat emisi udara lokal dan global

- Strategi Manajemen Parkir
a. Manajemen “On Street parking”
Daerah-daerah dimana demand terhadap parkir sudah melebihi dari kapasitas area yang disediakan, merupakan daerah dengan tekanan parkir tinggi dan mempunyai persaingan yang kuat antara kelompok permintaan seperti pusat kota, CBD dan daerah pemukiman yang berkepadatan tinggi atau daerah yang mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi. Mencegah penumpang menggunakan mobil atau sepeda motor, karena mereka sering memblokir tempat parkir dalam waktu yang lama untuk kebutuhan parkir yang lebih sesuai, seperti untuk angkutan umum.

Strategi manajemen parkir on-street antara lain:
 Larangan Parkir
Menghindari kemacetan lalu lintas, terutama pada jalan-jalan utama. Regulasi Kemenhub malarang parkir on-street pada jalan-jalan nasional dan jalan-jalan propinsi. Aksesibilitas bangunan-bangunan yang dekat dengan jalan utama juga harus dipastikan mampu mendukung regulasi tersebut . Perbedaan paradigma “kelancaran lalu-lintas” dan “pendapatan daerah” perlu dijembatani secara arif. Larangan parkir sementara khusus pada jam sibuk mungkin dapat menjadi salah satu solusi yang layak untuk diterapkan. Rambu lalu lintas baru mengenai “zona dilarang parkir” di tempat-tempat seperti daerah perumahan juga dapat dijadikan pilihan yang tepat.
 Biaya parkir
Tarif parkir dapat dijadikan instrumen untuk pengedalian kebutuhan transportasi. Kepadatan area parkir 85% merupakan kepadatan yang sesuai sebagai patokan untuk menghindari permintaan akan ruang parkir yang berlebih. Biaya progresif biasanya mendorong tarif menjadi lebih tinggi yang mana biaya ini dikenakan di daerah khusus seperti kawasan perbelanjaan.

Tarif parkir dapat dijadikan instrumen untuk pengedalian kebutuhan transportasi. Kepadatan area parkir 85% merupakan kepadatan yang sesuai sebagai patokan untuk menghindari permintaan akan ruang parkir yang berlebih. Biaya progresif biasanya mendorong tarif menjadi lebih tinggi yang mana biaya ini dikenakan di daerah khusus seperti kawasan perbelanjaan.

Penurunan biaya per jam menjadi lebih terjangkau akan membantu memperpanjang durasi parkir, contohnya di daerah-daerah komersil. Biaya yang datar dan tetap, memadai dan sesuai untuk daerah-daerah dengan kegiatan dan mobilititas yang beragam. Biaya parkir harus lebih tinggi di daerah-daerah yang mempunyai tingkat kebutuhan parkir yang tinggi, seperti daerah pusat kegiatan, stasiun, dll.

Biaya untuk “on-street parking” harus lebih tinggii daripada “off-street parking” karena ini berpengaruh pada pengambil alihan fungs ruas jalan Pendapatan dari parkir setidaknya harus menutupi biaya untuk fasilitas parkir, pengumpulan uang, dan pengawasan. Perlu adanya pendanaan untuk angkutan umum, pejalan kaki, dan pesepeda


 Pembatasan durasi parkir
Hal ini bisa dijadikan sebagai solusi lain sebagai upaya untuk mencegah penggunaan kendaraan bermotor untuk perjalanaan komuter dan mencegah penggunaan beberapa area parkir. Yang dikombinasikan dengan biaya parkir yang tidak diperlukan, ketika biaya parkir yang cukup tinggi sudah dapat mencegah penggunaan parkir dalam durasi waktu yang lama. Ketika adanya kebutuhan parkir untuk durasi waktu yang sangat pendek, misalnya di stasiun, batasan durasi parkir sangat ketat bahkan ketika biaya parkir sudah tercukupi.

 Perizinan parkir (khusus) untuk penduduk setempat
Memungkinkan penduduk untuk parkir di daerah depan rumah tetangga mereka,dalam keadaan apapun.



b. Manajemen “Off Street parking”
 Tidak ada standar minimum untuk “off-street parking”
 Fasilitas “off-site parking”
 Standar maksimum parkir
 Biaya parkir
 Pajak parkir

c. Langkah-langkah yang mendukung
 Kontrol dan penegakkan
 Sistem “parking guidance”
 Park-and-ride / bike dan fasilitas pesepeda
 Hubungan kerja public

Saran untuk Solusi Jangka Pendek

 Pada lokasi di daerah dimana masalah parkir terjadi sangat parah, maka manajemen “on street parking” yang cocok dan sesuai perlu segera diimplementasikan dan diterapkan dengan cepat. Pada tahap ini manajemen parkir notabene berfungsi sebagai solusi untuk memecahkan masalah parker
 Biaya parkir harus ditetapkan lebih tinggi dari sekarang. Terutama untuk biaya parkir per hari (tarif flat) harus diganti dengan biaya per jam (linear, progresif, atau yang turun sesuai dengan kondisi setempat) sehingga berpengaruh pada durasi parkir yang dilakukan
 Tanggung jawab untuk menyediakan area parkir yang memadai merupakan bagian dari proyek transportasi yang berkelanjutan dan konsep parkir akan dialihkan kepada investor atau pengembang. Standar minimum parkir harus dibatalkan karena memiliki banyak kekurangan, anatar lain menghalangi “car-avoiding” dan “traffic calming”
 Standar maksimum parkir yang sangat rendah untuk “on-site parking” yang mana hanya memenuhi kebutuhan parkir untuk transportasi yang krusial, contoh : parkir jangka pendek untuk layanan dan transaksi, harus dilaksanakan. Standar maksimum yang lebih tinggi yang juga mencakup tempat parkir untuk parkir jangka panjang, harus dikurangi dan tidak dilakukan
 Kota-kota harus mengembangkan konsep untuk area kota untuk menentukan fasilitas parkir yang dekat dengan jalan utama, yang mana perlu ditinjau lagi kesesuaiannya, apakah sesuai atau tidak.
 Suatu penegakkan hokum dan organisasi yang khusus menangani kontrol parkir harus dibentuk, untuk mengendalikan pelanggaran peraturan parkir dan untuk menentukan pembayaran tarif dan denda
 Hukum juga perlu diimplementasikan untuk menjamin bahwa pengguna ruang parkir dibebankan dengan biaya yang benar-benar sesuai dengan seharusnya, untuk mengeluarkan subsidi silang ruang parkir untuk pengenadara angkutan umum, pejalan kaki, dan pengendara sepeda dan untuk mengalokasikan subsidi untuk biaya transportasi.

Saran untuk solusi jangka menengah
 Manajemen on-street parking akan menyebar lebih dan lebih lagi di dalam kota, dan biaya parkir akan meningkat sejalan dengan peningkatan moda transportasi yang berkelanjutan. Pada tahap ini manajemen parkir berfungsi sebagai instrument TDM untuk mendorong orang untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi tapi kendaraan umum, berjalan kaki, atau bersepeda.
 Selanjutnya, pada manajemen on-street parking harus mulai diimplementasikan untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi di area perumahan dan perbelanjaan untuk menciptakan suasana jalan yang lebih tenang “traffic calming”. Kondisi fasilitas untuk berjalan kaki, bersepeda yang dikondisikan secara menyenangkan, harus diciptakan untuk menciptakan kehidupan perkotaa yang vital secara optimal
 Instrumen manajemen parkir harus memungkinkan konsep manajemen parkir yang canggih yang sesuai dengan kondisi lokal sehingga menghasilkan sistem parkir yang optimal. Jika sesuai maka instrument harus ditambahkan, seperti adanya “zona dilarang parkir” yang dianjurkan untuk menunjukan zona larangan parkir dipintu masuk area tersebut, seperti di area perumahan.
 Pajak parkir di setiap area parkir, baik itu area baru maupun yang sudah ada, harus diterapkan untuk memberikan insentif untuk konsep lalu lintas “car-avoiding” dan konsep parkir dan untuk menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan fasilitas transportasi umum, berjalan kaki, dan bersepeda

Saran untuk solusi jangka panjang:
Ketika visi kota bebas mobil menjadi kenyataan, fasilitas parkir yang sudah ada akan dkonversi/diubah menjadi fungsi yang lebih berguna. Misalkan, penggunaan area parkir yang dirubah menjadi rumah, took, pusat hiburan, dan lain-lain. Atau perubahan pada fasilitas “on-street parking” akan menjadi ruang tambahan untuk pejalan kaki, persinggahan, pohon-pohon, dan tambahan jalan yang didesain menjadi lebih menyenangkan